Di Pesantren

227 18 0
                                    

Setelah pulang dari rumah calon istri  Kaizan, dan sampai di rumah dengan membawa wajah malu. Kyai Daris memarahi habis-habisan putra bungsunya itu, Kaivan.

Namun bukan Kaivan namanya jika masih ambil hati atas kemarahan sang Ayah. Sedikit pun ia tak peduli, membiarkan sang Ayah mengatainya dengan segala macam nada makian.

Hal itu justru yang membuat Kyai Daris makin hari makin prustasi, anaknya yang satu itu sangat lah bebal. Tak tahu ustadz mana lagi yang harus dipanggil untuk memberi siraman rohani.

Sesekali sang Kyai juga bertanya-tanya dalam hati, salah apa dirinya dalam membesarkan Kaivan sampai sifatnya setidak terpuji itu. Serta dari mana sifat anaknya itu menurun. Seperasaannya, ia bukanlah orang yang semacam itu. Apalagi mendiang istrinya, sudah pasti beliau adalah sosok wanita yang berhati lembut dan santun.

Tak tahan berlama-lama melihat wajah Kaivan, Kyai Daris segera lekang dari tempat itu, membiarkan Kaivan dan Kaizan berdiri mematung di sana.

Begitu sang Ayah berlalu, Kaizan berbalik tanpa reaksi, hendak meninggalkan Kaivan.

"Eh, bang," Kaivan mencegat langkah abangnya.

Kaizan hanya menanggapi datar, bahkan tanpa menoleh dan berhenti. Membiarkan Kaivan mengintil dan berpegang di lengannya.

Sulit menebak respon Kaizan antara marah atau senang atas tindakan Kaivan yang sudah merusak acara perjodohannya, semuanya terlihat datar saja.

Pun, anak satu ini memang tipikal orang yang pembawaannya santai. Jarang terlihat marah, bahkan terkesan tidak pernah. Hm, kesabarannya cukup luas.

Begitu pula dengan tertawa, selucu-lucunya suatu candaan, Kaizan paling menaggapi dengan senyum tipis. Dan itupun sudah sangat menakjubkan bagi seseorang yang bisa membuat Kaizan tersenyum.

Kepribadiannya sebenarnya tidak dingin, ia hanya kurang bisa mengekspresikan perasaan.

Kaizan terus berjalan, dan Kaivan mengintil di lengannya dengan langkah terseret. Sangat menggemaskan, persis anak kecil yang merengek minta dibelikan jajan.

"Kamu ngapain sih. Udah, sana. Aku mau istirahat," ucap Kaizan sesaat setelah mereka sampai di dalam kamar.

"Aku mau nanya sesuatu," Kaivan berjalan mondar mandir di hadapan sang Abang dengan lagak penuh selidik.

Kaizan hanya balas memutar malas kedua bola matanya, "Nanya apa?"

"Calon istri Abang yang tadi satu pesantren sama Abang?"

"Udah ... Udah, jangan bahas itu. Sana cepat keluar," sambar Kaizan malah mendorong tubuh Kaivan mendekati pintu.

Namun bukan Kaivan namanya kalau tidak suka membuat kegaduhan.

Pyur --, ia berlari secepat kilat ke atas ranjang milik sang Abang.

"Jawab atau aku gak mau sekolah lagi," lanjut Kaivan malah mengancam hal yang bahkan merugikan dirinya sendiri.

Sebenarnya bukan merugikan, hanya saja ini adalah sebuah taktik. Taktik yang sangat menguntungkan karena ia tahu jika selama ini Kaizan tidak akan membiarkannya berhenti sekolah.

"Emang apa urusannya sama kamu kalau dia satu pesantren sama Abang, hah?" balas Kaizan memberi jawaban yang berarti, sembari berjalan menghampiri Kaivan ke atas ranjang.

Namun belum sempat Kaizan duduk bergabung di sana, Kaivan tanpa diduga sudah melompat dan berlari begitu cepat ke luar kamar, "Okei, makasih Kaiz."

Kaizan menatap tak habis pikir, lalu mengangkat bahu dengan tatapan bingung, "Dasar manusia aneh," gumamnya tersenyum tipis.

Setelahnya, Kaizan membaringkan diri di atas kasur empuknya. Tak berpikir panjang atas apa yang membuat Kaivan berlari sebegitu riang beberapa menit yang lalu.

***

Pagi menyapa indah, bersimilir terik disertai kicauan riang burung dari atas pepohonan rindang.

Kawasan yang sangat asri, dikelilingi pepohonan besar yang nampaknya dirawat telaten. Bunga-bunga indah bermekaran mengitari bangunan setempat. Ponpes Al-Huda, adalah ponpes milik Kyai Daris yang terkenal akan keindahan tempat dan kemegahan bangunannya.

Pukul setengah delapan sekarang, sepagi ini sudah ada ribuan santri yang lalu lalang di halaman ponpes, entah kegiatan apa saja yang hendak mereka lakukan.

"Gimana ya cara nyari perempuan itu," gumam seseorang yang tak asing di mata, sedang berdiri berkaca pinggang di depan gerbang. Siapa lagi jika bukan si tukang onar, Kaivan.

Bayi harimau itu lepas lagi dari penangkaran, sepertinya akan terjadi badai besar sebentar lagi. Apa ini jawaban atas kegirangannya yang begitu tiba-tiba kemarin? Entahlah, semoga saja tidak ada yang fatal.

Srep -- segerombolan santri putri melintas dari sebelah Kaivan.

"Loh, itu kan dia!" netra Kaivan langsung membulat kala melihat perempuan yang ia cari-cari melintas begitu saja di dekatnya. Dia adalah Mutia, perempuan yang dijodohkan dengan abangnya.

"Tunggu," dengan seenaknya Kaivan menarik tangan Mutia, berniat menghentikan langkahnya.

Tentu saja para santriwati itu terkejut bukan main, "Astaghfirullah!"

"Saya mau ngomong sama kamu," tanpa basa-basi Kaivan menarik tangan Mutia untuk bicara empat mata saja.

Mutia ingin protes, namun ia terlalu syok untuk melayangkan kekuatan. Begitu juga dengan teman-temannya, semua ingin membantu tapi tidak berani karena yang akan mereka hadapi itu adalah putra pemilik ponpes.

Sialnya lagi, mereka semua malah berpikir jika Kaivan sedang mencoba mendekati Mutia. Alhasil mereka pergi dengan senyum terkulum di wajah masing-masing.

"Kamu perempuan yang dijodohkan sama Kaizan kan?" tanya Kaivan asal jeblos saja. Emosinya juga sedikit tak stabil.

"Iya, kenapa?" balas Mutia terdengar sopan dan sedikit takut.

"Jauhin Bang Kaiz,"

"Maksudnya?" sambar Mutia langsung tersulut amarah.

Terlihat Kaivan yang memasang senyum evil, menatap jeli penampilan Mutia dari bawah sampai atas, "Masa kamu gak ngerti sih. Maksud saya, biarkan Bang Kaiz dapat perempuan yang setara dengan wajahnya, kasihan dia kalau sampai kalian berjodoh. Pernah dengar kan orang bijak bilang kalau cinta itu harus setara. Jadi tolong jauhi Abang saya, karena kalian gak setara."

Mutia mematung, sedikit pun tak berkutik menerima cemoohan dari mulut lantang Kaivan yang tak berperasaan.

"Kaivan," tiba-tiba ada Kaizan di seberang taman, dan sedang berlari kecil menghampiri mereka.

Srep -- Mutia langsung berlari juga ke arah yang berlawanan, meninggalkan Kaivan dan tak menunggu Kaizan yang mungkin saja datang untuk membelanya.

Gus KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang