13 - Great House

104 14 0
                                    

****

Azuna Lilly Violan

Dua puluh empat tahun

****

Sesekali mataku masih menoleh ke belakang meskipun mobil yang kutumpangi telah bergerak jauh meninggalkan pondok. Seingatku, pondok ini berada sangat jauh dari rumah. Aku dan Alan saat pergi bulan madu dulu harus menaiki pesawat dan mengemudi dalam waktu yang cukup lama.

"Anakmu, umurnya berapa bulan?" tanya sebuah suara yang tampak ragu-ragu ketika menanyakannya.

Saat ini, aku sedang duduk di mobil yang aku sendiri tidak tahu sedang melaju ke mana. Bersama Faris yang duduk di sampingku, Ragil yang duduk bersebelahan dengan kursi pengemudi, dan sosok perempuan yang terlihat seperti Ailena tetapi mengaku bernama Amira sedang mengemudi sambil bersiul riang.

"Dua bulan," jawabku. Suaraku terdengar kecil meskipun dalam keheningan malam.

Faris terkekeh di sampingku, "Dari malam pertama sudah isi berarti ya!"

Meskipun bukan pada tempatnya, perkataan Faris membuat pipiku memerah.

"Laki-laki atau perempuan?" Faris bertanya. Tangannya bergerak untuk sedikit menyingkap selimut yang kulilitkan pada Melanie tetapi secara refleks aku bergerak menjauh.

"Berhenti mengganggunya, Faris!" kata Ragil dari depan. Ia bahkan tidak menoleh sama sekali. Pandangannya lurus ke depan dan tampak begitu serius.

Faris mencebik dan kembali duduk dengan tenang. Ia memberikanku senyuman ramah, "Pesawat kita masih jam enam pagi, mudah-mudahan Alan nggak bisa menyusul sebelum kita sampai di GH."

"GH?" tanyaku bingung.

"Great House," Ailena palsu menoleh sejenak dan tersenyum lebar. "Lo pasti udah nggak sabar ketemu sama anggota yang lain. Ya walaupun sisanya masih berjaga di sekitar pondok buat jaga-jaga kalau ada pergerakan dari Alan."

"Uh...okay."

"So, lo nggak mau kasih tahu gitu nama anak lo siapa?"

Aku meringis, "Melanie."

"Berarti perempuan," gumam Faris di sampingku. "Hati-hati kalau sudah sampai GH, banyak tangan usil."

"Faris," Ragil kembali bersuara memperingatkan Faris untuk tidak banyak bicara. Sedangkan Amira terkekeh di sampingnya.

Masih ada banyak hal yang mengganjal pikiranku. Tapi mungkin, menanyakan tentang identitas Ailena terlebih dulu tidak ada salahnya.

"Kenapa namamu Amira, bukan Ailena?" tanyaku.

Suasana mendadak hening. Dapat kurasakan ketiga orang itu saling bertukar pandang meskipun sama-sama tidak menoleh. "Kenapa wajahmu tampak seperti Ailena, sepupuku?"

Amira menghela nafas, "Perjalanan kita masih panjang, Li. Nanti, sewaktu sampai GH gue janji akan jawab semua pertanyaan lo."

****

Great House yang dimaksud oleh Amira, Ragil dan Faris adalah sebuah penthouse dari apartemen yang berada tak jauh dari rumahku dulu. Bagaimana kelompok A.F.R.A bisa menyewa sebuah unit penthouse aku tidak ingin mencari tahu, karena mungkin sebentar lagi aku akan tahu.

Matahari sudah berada tinggi dilangit ketika lift kami berhenti di lantai paling atas. Sebuah lorong yang tidak terlalu panjang menyambutku. Lantainya dilapisi karpet lembut berwarna emas. Dinding di kanan dan kiriku dihiasi oleh lukisan yang aku sendiri tidak tahu apa namanya.

Sebelum kami sampai pada pintu, pintu tersebut telah terbuka, menampakkan sosok laki-laki yang tersenyum lebar. "Lilly!" serunya keras.

Mataku melotot ketika ia melompat hendak memelukku. Beruntung Ragil menahannya dan menyeretnya masuk. Laki-laki itu menyeringai dengan cara yang lucu dan membiarkan dirinya diseret oleh Ragil. Amira di sampingku menggelengkan kepalanya sedangkan Faris ikut menoyor-noyor kepala laki-laki itu dengan canda tawa.

Sekilas aku terpana pada desain mewah namun lembut dari interiornya. Namun tak bertahan lama karena sekumpulan orang langsung mengerumuniku begitu aku masuk.

"Oh. My. God. Setahun nggak ketemu lo udah punya baby aja!"

"Ya ampun lucu banget, cewek kan pasti iya kan Li?"

"Kok bisa sih nggak ketemu setahun dan lo sama sekali nggak tambah tinggi?"

"Guys,"

"Lo mau makan apa Li?"

"Bikin lasagna saja kali ya, Dean?"

"Gue request spesial banyak kejunya ya!"

"Lo ngapasin sih di sini Fadera! Sana balik ke jeruji besi!"

"Eh Li gue rapiin kamar lo, kalau mau, istirahat saja dulu. Makannya nanti."

"Jangan! Makan dulu saja! Kasian bayi lo nanti kalau mau nyusu."

"Guys,"

"Gue baru inget kalau bayi itu butuh susu! Bim, lo turun gih cari susu formula!"

"Kok gue? Suruh yang cewek ajalah! Mana gue ngerti macam susu formula!"

"Aulia, temenin Bima sana."

"Gue mau masak lasagna ih!"

"Guys?!"

"Biasanya pakai susu formula merek apa Li? Biar gue saja yang beli. Ngarepin Aulia sama Bima mah tunggu kiamat monyet dulu baru jalan."

"Deani, gue sekalian titip pewangi ruangan ya. Kayaknya kamar Lilly butuh yang seger-seger."

"Gue titip minum ya!"

"Minum apa?"

"Minum, taulah pasti."

"Gue udah ngelarang minumkan Fadera?"

"Li, jadi susu formulanya merek apa?"

"Li, itu bayi lo kayak mau nangis gitu!"

"GUYS!!"

Teriakan Amira di sampingku membuatku terkaget dan mengubah suasana ramai menjadi hening seketika. Aku meringis dan mengambil satu langkah mundur, membiarkan Amira yang bicara.

"Kalian yang bikin Lilly mau nangis tau!" teriak Amira penuh emosi. Ia berkacak pinggang dan memelototi semua orang. "Suruh Lilly duduk dulu, emang dia nggak capek apa habis perjalanan jauh terus sampe sini disembur sama kalian?!"

Aku mengambil satu langkah mundur lagi. Faris melirikku dengan binar tawa di matanya sedangkan Ragil hanya diam menggaruk-garuk pundaknya yang pastinya tidak gatal.

"Minggir!" sergah Amira dan secara otomatis kerumunan orang tersebut membuka jalan untukku. "Bikin pusing aja!"

"Langsung suruh ke kamar aja, Mir. Kasian bayinya."

Ragil berucap tenang. Amira mengangguk dan memberikan kode padaku agar mengikutinya. Sedangkan orang-orang yang masih menatapku penuh minat langsung bubar entah ke mana begitu Ragil sudah bicara. Sepertinya Ragil punya otoritas yang tinggi dalam kelompok ini.

Aku tersenyum, mengangguk kecil pada Ragil dan Faris sebelum akhirnya mengikuti Amira ke kamar. Setelah sekian lama merasa tidak tenang, dihantui oleh kata-kata kematian dari mulut Alan dan menjalani hari-hari di mana aku takut hujan akan turun, aku merasa begitu tenang berada di antara orang-orang yang tampak begitu peduli padaku.

"Melanie ditidurin aja dulu, nanti makanan biar gue bawain kesini."

"Thank you," ucapku ketika Amira hendak keluar dari kamar.

Amira tersenyum, "Istirahat aja dulu, Li."

****

Terima kasih telah membaca! Jangan lupa berikan vote dan tinggalkan komentar ya. Untuk versi yang lebih lengkap dapat dibaca melalui Karyakarsa.com/Amubamini. Bagian yang di upload melalui Wattpad hanya cuplikan beberapa bagian saja ya^^

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Salam sayang,Amubamini

Before The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang