6 - Pintu Hitam

7.1K 920 94
                                    


****

Azuna Lilly Violan

Dua puluh tiga tahun.

****

"Ada yang bisa saya bantu?" seorang resepsionis cantik dengan name-tag Lina menyapaku ketika aku memasuki gedung perusahaan Alan. Hanya lima lantai. Tetapi sudah cukup besar untuk ukuran sebuah perusahaan pengembang game.

"Saya mau bertemu Alan," jawabku dengan senyum seramah mungkin.

"Oh sebentar, dengan mbak siapa?"

"Lilly,"

Wanita itu mengecek sesuatu di komputernya. "Sudah buat janji sebelumnya, Mbak Lilly?"

Syukurlah resepsionis perusahaan ini tidak seperti dinovel-novel yang sering diceritakan sebagai sosok centil dan sinis pada wanita tak dikenal sepertiku yang ingin bertemu bosnya. "Belum, tetapi saya disuruh menyerahkan dokumen ini ke Alan."

"Oh, maaf, apa anda Lilly Leander?"

"Bukan―eh iya," aku lupa kalau embel-embelku akan berubah menjadi nama keluarga Leander setelah aku menikah dengan Alan. Duh.

"Mohon maaf ibu silakan gunakan lift yang paling ujung dari lorong ini. Ruangan Pak Alan ada di lantai lima. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, ibu."

"Iya santai aja, mbak."

Setelah memberikan senyuman sopan aku beranjak meninggalkan meja resepsionis dan masuk ke lift yang dimaksud oleh Lina tadi. Setelah aku masuk, seorang pria dengan kemeja coklat tua masuk, ia membawa beberapa file di tangannya.

"Ragil! Ragil! Wait! Wait! Wait!" mendadak sebuah lengan yang terbalut kemeja abu-abu menyelinap masuk sebelum pintu tertutup. Membuatku terlonjak kaget. Seorang pria lagi masuk dengan senyuman lebar dan berdiri di samping pria pertama.

"Lo tuh udah dibilang tungguin, bukan di tahan liftnya!" gerutu pria dengan kemeja abu-abu. Keduanya sama-sama mengenakan tanda pengenal perusahaan, pasti salah satu pekerja Alan.

Selama beberapa saat mereka tampak berdebat, oh tidak, maksudku pria dengan kemeja abu-abu menggerutu terus menerus tetapi tidak ditanggapi oleh pria kemeja coklat. Lelah juga memanggil mereka dengan warna kemeja.

Mataku melirik sekilas, memperhatikan kalung tanda pengenal yang mereka kenakan. Pria berkemeja coklat bernama Ragil, dan pria berkemeja abu-abu bernama Faris. Jadi, inti pembicaraan keduanya adalah Faris marah-marah karena Ragil selalu mendahuluinya.

Ketika sampai di lantai lima, aku baru sadar kalau mereka tidak turun dilantai empat, tiga atau dua. Saat melangkah keluar lift, aku sempat melirik keduanya, mereka tersenyum padaku mempersilahkanku untuk keluar lebih dulu.

Ada beberapa pintu yang asing, namun semua ruangan hanya memiliki dinding kaca yang tembus pandang sehingga aku bisa langsung tahu di mana ruangan Alan. Lelaki itu sedang mondar-mandir di depan mejanya dengan ponsel menempel erat ke telinga. Ternyata Alan bisa cerewet juga jika tentang pekerjaannya ya.

Aku mengetuk pintu ruangan Alan, sesaat setelah ia menyuruhku masuk, aku langsung membukanya. Alan tampak kaget ketika melihatku diambang pintu. Ia meletakan ponselnya, bersedekap dan menyandarkan pinggulnya ke meja. Menatapku tajam.

Aku meringis, salah apa lagi aku? Terlalu lama untuk sampai ke sini?

"Hai," sapaku kikuk.

Alan menaikkan sebelah alisnya, masih belum terlihat kalau ia ingin memberikanku senyuman hangat ala-ala pengantin baru. Tetapi kemudian ia melirik ke kanan dan kiriku dengan tatapan yang lebih tajam.

Before The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang