1 - Prolog

24.5K 1.8K 109
                                    


Azuna Lilly Violan

Dua puluh empat tahun.

****

Melanie sedang tidur. Pipinya menggembung dan memerah. Manis sekali. Putriku sangat cantik. Jika ia terbangun, ia tidak menangis keras, tapi mengaiskan tangannya ke atas agar kugendong. Jika ia menangis, artinya ia lapar atau popoknya basah.

"Tidur yang nyenyak, sayang. Papa sebentar lagi pulang."

Aku tidak pernah lelah untuk mengecup wajahnya yang lembut. Melanie Permata Leander, putri pertamaku dengan Alan. Lelaki pendiam yang selalu mencintaiku dalam kebisuannya. Hmm... biar ku hitung, berapa kali dia mengatakan cinta padaku?

Yang pertama, saat hari pernikahan kami di mana ia dipaksa untuk mengatakannya oleh adiknya yang usil.

Kedua, saat kami membuat Melanie. Oke, malam itu mungkin ia mengucapkannya lebih dari satu kali. Menggodaku berkali-kali hingga aku menyerah dalam pelukannya.

Berikutnya, hmm... sepertinya saat aku melahirkan Melanie.

Dan oh, saat ia pulang di malam berhujan setelah teror tidak menyenangkan dari seseorang yang tidak kukenal. Sampai saat ini, Alan belum mau mengatakan apa yang terjadi hari itu.

Kemudian... oke, kuakui, hanya itu saja. Well, sepertinya aku harus puas dengan empat ucapan cinta. Kapan Alan akan pulang?

Ia sudah tidak pernah bicara denganku semenjak dua minggu yang lalu. Bukan berarti Alan sering bicara denganku, kalian tahu, diakan pendiam. Tapi kali ini, Alan benar-benar tidak mau bicara denganku.

Salahku sebenarnya, itu malam yang mengerikan. Aku berulang kali mencoba meminta maaf dan menjelaskan pada Alan apa yang terjadi, tapi lelaki itu tidak mau mendengarnya. Kesalahpahaman yang membuat Alan jarang pulang. Bahkan dua hari terakhir ia tidak pulang sama sekali.

Ketukan di pintu depan membuatku menjatuhkan beberapa pakaian yang sedang kulipat.

Apa itu Alan? Ya, pasti Alan! Pintu depan terkunci dan aku sangat yakin Alan tidak membawa kuncinya ketika pergi. Alan selalu lupa banyak hal, dan ketika aku mengingatkannya, bukan berterima kasih ia akan mengerutkan bibirnya dan berlalu pergi. Ah, itu adalah bahasanya dalam mengucapkan terima kasih.

"Ya tunggu sebentar!" teriakku. Suara klik terasa bergetar di telingaku kala kunci terbuka bersamaan dengan pintu yang mengayun.

Aku ingin melompat dan memeluk Alan. Kemudian menciumnya dengan kasar, seperti yang pria itu sukai. Mengucapkan maaf karena telah melukai hatinya. Tapi sepertinya aku tidak mungkin melakukannya. Sampai kapan pun tidak mungkin bisa kulakukan.

"Maaf Lilly," suara itu kukenal dengan baik. Tapi saat ini aku tidak mengenalnya lagi kala tangan dari pemilik suara itu menancapkan sesuatu yang tajam dan menyakitkan ke perutku.

Nafasku tercekat. Sakitnya luar biasa. Lalu kemudian benda tajam itu tertarik keluar, menyisakan rongga perih yang menjalar cepat sampai ke hatiku.

Aku tak kuat berdiri, satu tanganku mencengkeram lengan kokoh pria ini. Pria yang kusayangi dan kucintai. Kenapa? Kenapa ia melakukannya?

"Aku pria jahat, Lilly. Sudah ribuan kali kukatakan."

Penglihatanku mulai mengabur kala menatap wajah tampannya yang begitu dingin. Air mata sudah berkumpul untuk tumpah. Kemudian ia memegang pundakku dengan satu tangan, satu tangan yang lain kembali menusukkan benda tajam itu ke perutku.

Saat itulah air mataku jatuh. Bersamaan dengan hatiku yang hancur tak tersisa. Bagaimana bisa?

Tubuhku terdorong masuk. Kemudian benda tajam itu ditarik kembali dari tubuhku. Mata kami bertemu. Menghantarkan berjuta memori yang telah kami lalui bersama. Mengingatkanku akan indahnya dunia ketika aku bersama pria ini.

"Kenapa?" bisikku dengan suara tercekat.

Ia tidak menggeleng, tidak mengangguk, bahkan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia hanya berdiri diam kemudian perlahan melepaskan pundakku dari cengkeramannya. Membiarkan tubuhku yang sebentar lagi akan tak bernyawa jatuh ke lantai.

Ia melangkah menuju tangga. Benda tajam itu masih ditangannya, siapa yang ia cari? Melanie? Tidak!

"Kumohon, biarkan putriku hidup!" pintaku tanpa bisa menatapnya. Suara sepatu hitamnya bergema di tangga kayu. Lalu kemudian jerit tangis Melanie melengking menyayatku.

"Jangan anakku! Jangan! Kumohon."

Tapi aku tidak bisa melakukan apa pun. Tubuhku sama sekali tidak mampu bergerak. Yang kulihat hanyalah warna merah.

"Alan!" suaraku hampir tak terdengar, tetapi aku terus memanggil, "Alan!"

Ia tidak menjawab. Tidak pernah menjawab. Bahkan sampai rasa sakit ini hilang dan aku tidak merasakan apa-apa lagi. Ia tidak menjawab. Meski Melanie terus menerus berteriak, Alan tidak menjawab.

****

Cerita lama yang di upload kembali. Semoga kesalahan penulisan dan lain-lain sudah hilang ya. Kalau masih ada, feel free to correct me.

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa berikan vote dan tinggalkan komentar ya. Cerita ini juga sudah di upload melalui Karyakarsa.com/Amubamini hingga chapter 11. Yang mau ngebut duluan bisa mampir ke sana, yang kaum mendang mending kayak Amuba bisa baca versi terbatas di Wattpad aja hehe..

Salam sayang,
Amubamini

Before The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang