3 - Surat Merah

9K 1K 74
                                    

"Inikah trik terbaikmu, Alan?"

"..."

"Menikah dengannya tidak akan membuatku menjauhimu. Bukan langkah yang bagus sebenarnya. Kenapa sayang? Dari semua wanita yang bisa kamu gunakan untuk menyingkirkanku, kamu memilih gadis lemah seperti Lilly?"

"..."

"Sudah kubilang, kamu nggak akan bisa menyingkirkan aku dengan mudah. So, tell me please darling. Apa kamu tergoda oleh kepolosan Lilly?"

"Ya. Dia wanita yang polos."

"Ah, tentu saja Lilly gadis yang polos, suci dan-"

"Tidak sepertimu."

"Ouch, perkataanmu selalu menyakitkan. Tapi bagaimana menurutmu kalau Lilly yang polos itu tahu bagaimana sifat aslimu? Hmm?"

"Pergi."

"Oh akan lebih baik lagi kalau aku yang langsung mendatanginya, berbicara langsung dengannya. Bagaimana, ide bagus bukan?"

"Pergi. Sebelum semua orang bangun."

"Hmmm, bagaimana jika kita bangunkan mereka dengan cara yang lebih menarik."

"Pergi!" Alan meraih leher wanita itu mencekiknya kuat. "Jangan membuatku mengulang-ulang kalimat!"

****

Azuna Lilly Violan

Dua puluh tiga tahun.

****

"Lilly!"

"Lilly!"

"Aduh! Apaan sih Ailena!" teriakku marah saat rambutku tiba-tiba dijambak olehnya.

"Elo dari tadi gue panggilin nggak nengok-nengok juga! Gue kira kesambet! Ini mau pesen apa?!" jawab Ailena tak kalah sengit ketika menatapku. Ia menyodorkan buku menu padaku dengan wajah kesal.

Dengan tak berminat kupilih asal-asalan menu yang ada di sana. Kami sedang melaksanakan rutinitas yang dibuat oleh Ailena demi mengeratkan persahabatan antar sepupu. Sehingga setiap Senin siang, kami harus makan bersama. Tidak peduli ada pekerjaan, atau kuliah atau tugas yang sudah di ujung deadline. Waktu untuk sepupu tidak boleh diganggu gugat.

"Lilly! Ngelamunin apa sih?!" teriakan Ailena kembali menyadarkanku.

"Jangan suka teriak-teriak ah, malu tau didenger orang!"

"Lagian dipanggilin juga, nggak usah mikirin nikah dulu, masih dua bulan lagi neng. Baru juga tunangan."

Aku cemberut ke arah Ailena.

"Bukan soal nikah, Ai. Menyangkut itu juga sih. Cuma ada sesuatu yang rasanya janggal aja. Dari Kak Reno, Alan, sama orang lain yang nggak gue kenal."

"Ah, mulai deh jadi mirip dukun. Nggak usah dibawa stres gitu, Li! Lo kebanyakan pikiran sih makanya jadi punya prasangka yang aneh-aneh."

Aku menghela nafas sambil melirik kecil pada Ailena. Tak lupa memberinya sedikit lirikan sebal.

"Apa?" sergah Ailena galak. "Nggak usah ngelirik gue sinis begitu. Gue belom ngerasain di posisi lo. Jadi gue nggak ngerti harus nasehatin apa."

"Mending lo diem, Ai."

Selepas pembicaraan singkat itu. Kami mengobrol dengan santai dan melupakan sedikit tentang perasaan aneh yang menggelayuti pikiranku. Sore ini aku ada janji dengan Alan untuk fitting baju pengantin. Seharusnya tadi pagi, tapi karena tidak ada satu pun keturunan keluarga Leander yang tidak sibuk, acara ditunda sampai sore.

Before The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang