7 - Surat Putih

6.2K 873 110
                                    


****

Azuna Lilly Violan

Dua puluh tiga tahun.

****

"Jadi Alan punya ruang rahasia bawah tanah di rumahnya," Ailena berkata sambil bertopang dagu setelah mendengar ceritaku.

"Dia itu serial killer apa ya, Ai."

"Sembarangan lo! Ya bukan serial killer juga kali. Maybe nih, cuma maybe yah, dia itu punya lebih banyak rahasia daripada yang lo bayangin."

Pendapat Ailena memang benar. Tetapi memiliki ruangan yang disebut sebagai brangkas hitam tetap saja menyeramkan. Aku belum menceritakan soal dua surat yang kuterima dari orang asing pada Ailena. Takut kalau aku menceritakannya, Ailena akan berada dalam bahaya. Karena siapa pun pengirimnya, dia pasti berada di sekitarku.

"Udah, Li!" Ailena menoyor kepalaku. Membuatku menatapnya garang. "Nggak usah kebanyakan mikir, sama kayak kakak lo yang bikin gembok berlapis-lapis untuk semua data-data dikantor―"

"Enkripsi namanya," potongku sebelum Ailena mulai sok tahu.

"Iya iya es krim apa kek itu namanya, yang jelas brangkasnya Alan ini versi dia untuk ngelindungin data perusahaan dari tikus-tikus cyber macam lo!"

"Tikus cyber?! Mana tikus, hah?" Ailena mengelak ketika tanganku sudah melayang untuk menoyornya balik. Perempuan ini memang paling jago kalau menghindari seranganku. "Ngomong-ngomong Kak Reno, gue sempet denger dia ngomong sesuatu yang aneh gitu ke Alan."

Ailena langsung semangat lagi, ia memajukan kepalanya fokus akan apa yang akan aku ucapkan.

"What? Sejenis kayak kakak lo ngejual lo ke Alan buat nyelametin perusahaannya yang bangkrut?"

"What the!" delikku kaget.

Ailena tertawa nyaring, "Gue kira lo nggak bakal nanya ke gue! Santai aja Li, nggak bener kok."

"Kok lo tau?"

"Kan waktu rapat keluarga cuma lo doang yang nggak dateng, soalnya lo objeknya!" Setelah mengatakan sesuatu yang penting namun sama sekali tak disadarinya, Ailena malah tertawa tanpa dosa.

"Bitch! Jangan gila di sini, jelasin dulu ke gue!"

Kami sedang makan siang bersama. Rutinitas hari Senin. Bah, niatku sepulang dari kantor Alan mau langsung balik ke brangkas rahasia milik Alan terus aku obrak-abrik biar Alan puas. Tapi Ailena mengancam akan mogok bertemu denganku dan tidak akan mau mendengarkan apa pun keluhanku. Jadi daripada aku kehilangan sepupu sekaligus sahabat terhebat sepanjang masa, akhirnya aku duduk menemani Ailena makan siang.

"Sambil jalan aja, lo udah janji mau nemenin gue beli tas baru!"

Sedikit dongkol aku bangkit kemudian membayar makanan kami masing-masing. Ailena bukan tipe perempuan feminin yang tergila-gila pada tas bermerek berkilauan. Ia suka tas kanvas yang murah tapi awet. Kalau budget-nya satu juta untuk beli tas, dia bisa dapat empat tas sekaligus. Entah di kemanakan seluruh tas itu. Katanya sih untuk modal traveling. Karena sering kali, setelah pulang jalan-jalan tasnya akan kena noda―banyak sekali noda―atau warnanya memudar, kadang juga robek karena tersangkut atau basah dan tak kering-kering. Dan itu berlaku pada tas jenis apa pun, mau tas yang harganya puluhan juta atau tas yang harganya hanya dua ratus ribu, semuanya akan berakhir mengenaskan setelah diajak jalan-jalan oleh Ailena.

"Lo yakin nggak mau nemenin gue ke pulau itu?" tanya Ailena saat kami memasuki satu toko yang pelayannya berdiri dengan senyuman terpaksa.

"Enggak sorry, gue punya lakik sekarang!" timpalku asal dan mendapat lirikan super sinis dari Ailena yang by the way belum punya pengganti setelah pacar sebelumnya putus.

"Nggak usah sombong gitu sama gue, awas aja nanti gue ngegaet bule yang lebih ganteng dari Alan!"

"Aturlah, Ai. Gue nggak yakin dengan hobi lo yang suka melancong ke tempat-tempat aneh di Indonesia lo bisa nemuin bule di sana!"

"Oke, mau taruhan berapa-berapa?"

Kutatap Ailena tidak percaya, "Lo mau taruhan sama gue soal elo yang mau nyari bule buat dijadiin pacar?"

"Berani nggak?" tantang Ailena dengan dagu terangkat, membuatku mencebik menatapnya.

"Nggak ah,"

"Cupu!"

Aku hendak membalas perkataan Ailena tetapi ponselku berdering. Si mahadewa Alan Kyro Leander memanggil. Alamak, tadi aku sudah bilang kalau akan pergi makan siang sama Ailena. Kira-kira dia telepon mau bicara apa ya. Atau mau marah-marah karena aku langsung pergi begitu saja?

"Hallo?"

"Sedang dimana?"

Tuh kan. Pertanyaannya langsung on point.

"Aku makan siang sama Ailena," jawabku cepat sebelum Alan mengajukan pertanyaan lain yang memojokkanku.

"Ailena?"

"Ailena, sepupuku. Aku belum cerita ya, setiap Senin siang aku makan bareng dia. Udah perjanjian dari jaman dulu gitulah, maaf ya nggak bilang ke kamu."

Kalimatku sudah manis belum?

"Sudah selesai?" tanya Alan.

"Udah sih, tapi Ailena mau beli tas baru, minta temenin katanya."

Alan terdiam sejenak, "Kalau sudah selesai, bilang. Aku jemput."

Mampus! Aku bawa mobil sendiri! Tadi pagi Alan bilang jangan bawa mobil kan? Naik taksi saja? Terus aku harus ngomong apa sekarang?

"Nggak usah, aku dianter Ailena pulang kok!" ucapku diselingi dengan kekeh-kekeh kecil di akhir kalimat agar Alan tidak marah. Ailena yang berada tak jauh dariku bergumam kalau ia tak mau mengantarku pulang.

"Rumah Ailena memang searah dengan rumahku?"

Aku menepuk jidatku seakan baru menyadari hal itu. Dulu Ailena mengantarku pulang karena memang rumah kami searah. Tetapi sekarang, jelas rumah Alan beda arah dengan Ailena karena letaknya yang dipinggir kota.

"Enggak," jawabku lesu.

"Kujemput."

Merasa kalau Alan akan langsung mematikan sambungan, aku menjerit kecil memanggil namanya kemudian berbisik kalah, "Aku bawa mobil."

Ada hening yang lama setelah aku mengakui hal tersebut. Mampus. Mampus. Mampus. Alan akan mengamuk sebentar lagi. Apa ia akan mengunciku di dalam brangkas hitamnya sampai aku kehabisan nafas? My... my... no!

"Jangan pulang terlalu sore."

Tuuuuuuuuuuuuuuut...

****

Hai jumpa lagi dengan cerita Alan dan Lilly. Terima kasih sudah membaca, jangan lupa berikan vote dan tinggalkan komentar ya. Mau mengingatkan lagi sebelum ada yang protes pendek banget, yang diupload di wattpad hanya cuplikan saja ya. Versi lengkap untuk semua cerita bisa kalian baca di Karyakarsa.com/Amubamini.

Versi rewrite ini lebih detail dan nggak terburu-buru penyelesaiannya seperti versi aslinya. Semoga kalian tetap suka ya!

Salam sayang,

Amubamini.

PUBLISHED [01/06/2017]

LAST EDITED [25/04/2023]

Before The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang