10 - Blue Eyes

5.4K 880 256
                                    

****

Azuna Lilly Violan

Dua puluh tiga tahun.

****

Efek dari penyerangan itu baru terasa pagi ini ketika aku membuka mata. Pusing serta tak dapat menggerakkan wajahku. Ini juga pertama kalinya aku tidur dalam posisi terlentang, biasanya aku akan tidur menyamping. Mungkin, karena Alan yang mengunciku rapat sehingga aku tak bisa bergerak ke mana-mana.

Alan belum bangun. Atau setidaknya aku pikir begitu. Biasanya pria ini selalu bangun terlebih dahulu, tetapi mungkin karena kelelahan ia masih ingin lebih lama beristirahat. Jika tidur seperti ini, wajahnya terlihat damai.

Ia menumpukan dagunya di bahuku. Wajah kami begitu dekat jika aku menoleh seperti ini. Satu tangannya menggenggam tanganku. Tindakan sederhana yang manis. Alan memang begitu, pendiam tapi manis.

Kira-kira bagaimana cara membangunkan Alan dengan romantis tetapi juga bisa membuatnya kesal? Bukan berarti aku suka jika Alan kesal, tetapi ada sesuatu dalam ekspresi frustrasinya yang membuatku gemas.

Dengan senyum licik aku melepas genggaman tangan Alan perlahan. Tidak akan seru kalau ia tiba-tiba terbangun seperti malam pertama kami dulu kemudian mencekikku. Aku meringis kecil ketika telah berhasil turun dari tempat tidur. Kepalaku jelas masih butuh untuk diistirahatkan.

Sambil berjinjit, aku berjalan menuju rak buku. Membuka salah satu buku dan mengambil kertas istimewa yang kusimpan di sana. Senyumku semakin lebar ketika berhasil kembali ke tempat tidur tanpa ada tanda-tanda Alan telah bangun.

Tetapi ketika aku baru saja ingin mengembalikan posisi tangan Alan agar menggenggam tanganku lagi, pria itu mendesah dan berkata, "Dari mana?"

Aku menutup mulutku rapat-rapat agar tidak menjerit. Sejak kapan Alan bangun? Tetapi matanya masih terpejam.

Suamiku itu menarikku mendekat, menenggelamkan wajahnya di leherku. Membuatku tidak mampu bergerak.

"Uh, sebentar-sebentar."

Kudorong tubuh Alan perlahan, membuatnya membuka mata dan menatapku kesal. Ah, pagi-pagi aku sudah berhasil mendapat satu gol.

"Pipiku yang sebelah situ sakit, jangan deket-deket, nanti kena hidung kamu!"

Sebenarnya aku cuma bercanda. Ingin membuat Alan merasa bersalah karena telah meninggalkanku selama sebulan. Tetapi ekspresi pria itu yang mendadak muram malah membuat aku yang merasa bersalah.

"Sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang sulit untuk kumengerti.

"Sedikit sih."

Tangannya bergerak untuk menangkup sisi wajahku yang tidak terdapat memar. Ia mengusapnya pelan kemudian bertanya, "Kamu bisa mengenali siapa yang menyerangmu?"

Aku menatap mata Alan ketika ia menanyakannya.

Ya, ia tampak khawatir akan keadaanku. Itu terlihat dari sorot matanya yang teduh mengamatiku. Tetapi aku juga melihat kekhawatiran yang lain. Mata teduh yang menatapku itu seolah mencari jawaban. Menuntutku untuk jujur.

Apa aku bisa mengenali siapa yang menyerangku?

Tentu saja. "Nggak, aku nggak lihat. Cuma lihat sepatunya sesaat sebelum aku kehilangan kesadaran."

Aku menjawab dengan senyuman yang kuharap dapat meyakinkan Alan. Mata pria itu semakin teduh atau mungkin semakin gelap sesaat setelah aku mengatakannya. Tangannya yang tadi membelai pipiku turun ke leherku. Sentuhannya begitu ringan, jika ada orang lain yang melihatnya maka mereka pasti tidak akan berpikir bahwa Alan memiliki niat untuk menyakitiku.

Before The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang