****
Azuna Lilly Violan
Dua puluh tiga tahun.
****
"Let's play a game," aku berucap pada Alan. "Jika kamu menang, kamu boleh menyuruhku tidur di mana saja. Jika aku menang, aku akan tidur di kamarmu dan kamu tidur di sofa ini."
Kami sedang berada di ruang keluarga rumah Alan yang ternyata super besar. Lelaki itu pandai sekali merendahkan diri sendiri. Walaupun memang rumah ini hanya punya tiga kamar. Tiga kamar yang masing-masing ukurannya dua kali lipat kamarku. Tapi memang hanya satu yang layak untuk dijadikan kamar tidur, karena dua lainnya digunakan untuk ruang kerja dan gudang berbagai macam perangkat komputer bekas eksperimen Alan yang gagal.
Alan menarik bibirnya ke atas mencoba untuk tidak mencemooh penawaranku. Melihatnya membuatku berapi-api dan menambahkan, "Selama satu bulan!"
Kali ini bibir Alan terkatup rapat. Membentuk garis lurus seolah tidak percaya aku memintanya untuk tidur di sofa selama sebulan.
Biar kuberitahu apa yang spesial dari malam ini. Well, selain ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah Alan, ini juga malam pertama kami. Setelah pesta pernikahan megah yang laksanakan seharian ini Alan langsung membawaku pulang ke rumahnya. Dengan masih mengenakan gaun pengantin dan atribut rambut yang belum sempat aku lepas.
Tetapi dua jam setelahnya, kami duduk di ruang keluarga mengenakan pakaian rumah dengan santai dan sama sekali tidak merasa mengantuk. Mungkin karena berada di rumah baru makanya aku begitu bersemangat. Sedangkan aku tidak mengerti apa yang membuat Alan tampak tidak mengantuk sama sekali.
"Aku yang pilih game-nya," ucap Alan setelah memandangiku lama.
Mengenal Alan selama lebih dari dua bulan membuatku kebal akan tatapannya yang membuat kakiku gemetar dan jantungku meloncat-loncat penuh debar.
"No problem," jawabku riang.
Berdasarkan informasi yang kudapatkan dari Arion-adiknya Alan yang kelewat ramah-suamiku ini jago sekali bermain game. Yang tidak Alan tahu, aku hidup dari bayang-bayang Kak Reno yang sama gilanya ketika bermain game. Kami hanya dua bersaudara, maka ketika Kak Reno sedang tidak kedatangan teman-temannya, ia akan memaksaku untuk bertanding. Pada awalnya aku selalu kalah, tetapi sekarang, Kak Reno tidak pernah berani bertaruh apa pun lagi jika aku mengajaknya bermain. Terakhir kali ia kalah, aku mengecat kamarnya dengan warna merah muda dan menggambar beberapa karakter Disney di sana.
Dan jelas, kalian tahu apa yang terjadi pada Alan tak lama lagi.
Satu jam kemudian, aku menang. Alan mengumpat lirih dan memandangiku dengan tatapan tidak percaya, "Kamu berguru ke siapa?"
Aku berpikir sejenak, hanya untuk menggoda Alan beserta wajahnya yang penuh ekspresi kaget itu, "Sepertinya tanganku memang diberkati."
Alan mendengus dan melemparkan stik game-nya. Ia sepertinya ingin meminta tanding ulang tetapi sesaat matanya melirik pada jam dinding dan akhirnya ia berkata, "Tidurlah! kamarnya milikmu selama sebulan."
Kalimatnya yang penuh rasa kesal membuatku begitu bahagia. Setidaknya ada emosi di dalamnya. Tidak seperti sebelum kami menikah.
Aku menepuk pundaknya dan beranjak masuk kamar, "Kalau mau dapetin kamarmu lagi, jangan malu-malu untuk nantang aku ya."
Sebelum Alan sempat memberikanku tatapan membunuh, aku langsung ngacir ke kamar. Mungkin, egonya sebagai lelaki dan sebagai pengembang game tercoreng karena kalah olehku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Before The Rain
Mystery / ThrillerSemua berpikir Alan dan Lilly adalah pasangan yang memang diciptakan Tuhan untuk bersama. Yang satu pendiam dan yang satu lagi penuh suara. Bagi kedua keluarga pernikahan mereka adalah pernikahan yang paling damai dan tanpa intrik sama sekali. Tapi...