12 - Tipu Daya

148 17 0
                                        

Azuna Lilly Violan

Dua puluh empat tahun

****

Satu tahun mungkin waktu yang lama. Tapi tidak ketika aku melupakan apa yang terjadi padaku saat hujan turun. Seolah-olah secara tidak langsung hujan menghapus seluruh ketakutan dan kepedihanku setiap kali ia turun. Membuatku melupakan segalanya dan membawaku pada diriku yang lain. Yang tidak mengingat apa pun.

"Masuklah," Alan berkata dingin dari belakangku. Ia menyampirkan selimut ke bahuku kemudian membimbingku masuk.

Tidak banyak yang kupelajari tentang Alan. Lelaki itu akan pergi setelah memastikan aku makan dan meminum vitaminku. Terkadang ia pulang lebih cepat ketika hujan turun. Kadang ia juga tidak pulang selama berhari-hari. Selama itu aku tetap berada di rumah, aku juga tidak menerima surat dari A.F.R.A.

Sosok Afra seolah tak dapat menggapaiku lagi. Merah bukan darah, hitam bukan rahasia, putih bukan suci. Selama aku di sini, aku berpikir apa yang Afra maksud dari surat-surat tersebut. Merah yang bukan darah, hitam yang tidak mengandung rahasia, dan putih yang sama sekali tidak suci.

Mungkin A.F.R.A mencoba memberi peringatan tentang Alan. Lalu surat terakhirnya, Pandora hitam. A2002. Blue Eyes. Jelas siapa pun anggota dari A.F.R.A yang mengirimi surat itu bukanlah Alan. Karena Alan melarangku untuk mengetahui ketiga hal tersebut.

"Apa yang kamu pikirkan?" Alan bertanya, membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar kami berada di ambang pintu kamar Melanie. Putri pertama kami yang telah lahir dua bulan lalu.

Ironis. Hidup bersama Alan terasa begitu tenang di sini. Meskipun secara tidak langsung aku adalah tahanannya.

"Tidak ada," jawabku sambil menatap Melanie yang tertidur pulas di dalam ranjang bayinya. "Melanie tidur nyenyak sekali."

"Kamu juga tidur nyenyak beberapa hari terakhir. Apa ada sesuatu menyenangkan yang terjadi?"

Aku tersenyum kecil, senyum yang aku tahan agar tidak terlihat sinis, "Aku tidak tahu kenapa, mungkin suatu hari nanti aku akan mati dalam tidurku yang nyenyak."

Tangan Alan yang merangkul pinggangku mencengkeram tiba-tiba. "Hati-hati ketika berdoa, sayang."

Alan menutup pintu kamar Melanie. Membimbingku masuk ke kamar kami. Gerakannya lembut seperti biasa. Setiap kali ia tidak menyukai caraku bicara, setiap kali aku bisa mengingat apa yang telah Alan lakukan, dan setiap kali ia begitu marah dan ingin melampiaskannya, ia akan membawaku ke kamar dengan gelagat yang lembut.

"Aku belum ingin membunuhmu, Lilly."

"Kenapa begitu? Aku lemah dan aku dapat mengingat banyak hal sekarang. Kenapa tidak membunuhku sekarang saja?"

"Karena kamu mencintaiku?" ia mengecup bahuku. "Karena kamu harus mengurus anakku?" kemudian mengecup leherku. "Karena aku ingin bersamamu sedikit lebih lama?" dan berakhir di bibirku.

Aku tidak membalas perkataan Alan. Karena aku menahan nafasku saat kedua tangan Alan bergerak ke leherku. Pria ini, mungkin terobsesi untuk mencekikku. Ia akan menakutiku setengah mati hanya dengan memainkan tangannya di leherku.

"Happy one year anniversary, sayang."

Alan menatapku dengan senyum lebar. Matanya menatap pada leherku yang kini berhiaskan sebuah kalung berantai putih dengan bandul berbentuk tetasan air mata.

"Aku memang harus membunuhmu, tapi bukan saat ini. Dan kamu istriku, ibu dari anakku. Tak ada yang bisa menghalangiku untuk memberikan kasih sayang padamu."

Aku tertawa kecil, tapi setetes air mata jatuh ke pipiku yang dengan cepat dihapus oleh jemari Alan.

"Kamu gila," ucapku.

"Aku melindungimu, Lilly. Aku melindungimu dari banyak orang. Termasuk dirimu dan ingatanmu."

Tawaku semakin keras, "Kamu gila! Akui saja Alan, kamu gila!"

Kemudian aku menangis, membiarkan Alan memelukku erat dan membisikan kata-kata manis.

Tidak. Bukan Alan yang gila. Aku yang sebentar lagi mungkin akan gila. Bagaimana aku bisa keluar dari sini. Kenapa tidak ada yang menanyakan keberadaanku? Kak Reno? Ailena? Ayah? Ke mana semuanya pergi?

"Aku tidak mengerti..."

Kalimat yang kuucapkan terdengar lemah. Alan sepertinya sadar akan hal itu. Ia menarikku perlahan ke pinggir kasur, kami duduk bersebelahan dengan lengan Alan yang siap siaga merangkul pundakku seperti suami idaman.

"Tidak bisakah aku pulang, bertemu ayahku? Dia pasti senang cucunya bertambah satu? Hmm?"

Kali ini aku merajuk. Mengemis. Sesuatu yang sering kali kulakukan tapi tidak pernah bisa meluluhkan Alan. Pria itu masih dengan wajah datarnya.

"Sampai kamu bisa mengingat semuanya, sampai fobiamu hilang. Kamu akan tetap di sini."

"Tidakkah kamu berpikir bahwa kamu yang menyebabkan ini semua?!" jeritku sambil menghempas tangan Alan. Saat akhirnya aku bebas, aku berlari menuju pintu, entah untuk apa, melarikan diri mungkin.

Hidupku yang sebelumnya terasa ringan dan tanpa beban sekarang berubah menjadi kabut kelabu yang membuatku tidak tahu harus melangkah ke arah mana. Satu-satunya yang menerangi jalanku hanya Alan, tapi aku tidak tahu apakah jalan yang ditunjukkan pria itu adalah jalan yang memang harus kulalui, atau jalan yang diinginkan Alan untuk kulalui.

"Berhenti, Lilly."

Lagi-lagi air mataku menitik jatuh. Bersamaan dengan kakiku yang berhenti melangkah dan tubuhku yang mendadak tak mampu untuk bergerak. Inilah yang selalu terjadi ketika aku berusaha kabur tepat di depan Alan.

"Lepaskan aku!" desisku saat melihat Alan berjalan perlahan mendekatiku.

"Kamu benar, aku yang menyebabkan semua ini," ucap Alan. Aku membenci suaranya yang bisa terdengar begitu tenang namun ekspresinya mengatakan bahwa ia lelah dan siap untuk mengurungku kembali.

"Aku bersalah, dan hendak memperbaikinya. Jadi dengarkan aku baik-baik, Lilly."

"Kenapa?! Kenapa?!" teriakku seperti wanita gila.

Aku tidak peduli Melanie akan terbangun dari tidurnya. Aku juga tidak peduli jika pita suaraku akan putus. Aku hanya frustrasi dan tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Agar tidak perlu ada yang mati lagi."

Alan berjalan menjauh, mengambil sebutir pil dari dalam botol kecil dan segelas air. Ia mengangsurkan kedua benda itu ke arahku. Dan aku seperti robot menerimanya tanpa membantah. Langsung menelan pil tersebut dan membiarkan Alan kembali membimbingku ke kasur.

"Aku yang akan menjaga Melanie malam ini, kamu bisa istirahat."

"Fuck you!" desisku saat rasa kantuk mulai mengambil alih.

Alan tersenyum kecil, "Kamu semakin kasar, tapi artinya kamu mulai kembali seperti dirimu yang dulu."

Kali ini aku masih sempat untuk tertawa, membiarkan Alan menikmati ekspresiku yang kesal.

"Kamu nggak akan menemukan siapa pun, aku yang dulu, aku yang sekarang, semuanya adalah aku. Alan yang malang!"

Sebelum mataku terpejam dan wajah Alan hilang dari penglihatanku, aku sempat melihat rautnya yang tampak berubah waspada. Seolah kata-kataku mempengaruhinya. Memikirkan itu, membuatku tersenyum dan tidak peduli saat kegelapan membawaku pada mimpi di mana aku masih hidup di awal pernikahan dan Alan masih menjadi pria pendiam yang baik hati.

Mimpi, memang terkadang suka menipumu.

****

Terima kasih telah membaca! Jangan lupa berikan vote dan tinggalkan komentar ya. Untuk versi yang lebih lengkap dapat dibaca melalui Karyakarsa.com/Amubamini. Bagian yang diupload melalui wattpad hanya cuplikan beberapa bagian saja ya^^

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Salam sayang,
Amubamini

Before The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang