27. Runtuh

7 2 10
                                    

Gimana ekspetasinya buat Haidar abis 1 tahun hiatus? Maaf banget buat yang masih nungguin, dan aku pribadi memang niatnya ngga mau ngelanjutin series ini lagi. Tapi, aku rasa lebih baik nyelesain sesuatu yang udah aku mulai sebelumnya, wkwk

;happy reading!

***

Ia terduduk lemas, menatap ke langit-langit dimana tali itu menggantung. Sirna sudah harapannya. Kepada siapa lalu ia harus berteduh? Tiada lagi yang menahannya untuk tetap bertahan. Seisi bumi seakan kedap suara, ia hanya sendirian. Lalu-lalang orang-orang di sekelilingnya menguap sudah.

Beralih matanya memandang pergelangan tangannya, bercak cairan merah segar. Untuk sesaat kembali bergetar, tak mampu menguasai sendi lengannya sendiri. Air matanya kembali tumpah. Sungguh, hancur lebur Adam kehilangan Ayahnya.

"Adam!"

Sentakan Wisnu menyadarkannya. Ia menatap binar kawannya dengan samar-samar. Membengkak matanya menangisi kenyataan yang baru saja ia hadapi.

"Bangun, Dam. Kita keluar," Wisnu berusaha untuk memapah badannya untuk berdiri, namun dengan keras Adam kemudian menolak.

"Pergi, Nu. Bawa temen-temen yang lain pergi dari sini."

Wisnu mengesah, "Lo mau ngelihat bokap lo yang terakhir kalinya, kan, Dam? Ayo kita ke rumah sakit. Sama-sama kita tunggu hasil dari autopsi. Lo harus tetap tegar sampai semuanya normal lagi. Jangan larut sama kesedihan terus, itu cuma bakalan nyakitin lo."

"Apanya yang normal?" Matanya menatap nyalang, "Enggak ada lagi hal yang normal abis bokap gue mati kayak gitu, bangsat! Lo berharap gue bisa hidup normal lagi setelah gue ngelihat bokap gue sendiri mati dengan cara kayak gitu?!"

Tak mampu berkata-kata, mulutnya membeku.

Adam bangkit sendiri, berjalan terseok-seok menuju pintu depan. Ia melihat sendiri kerumunan teman-temannya yang lain, menatapnya dengan tatapan iba dan penuh perhatian. Namun, ia membencinya. Adam justru tidak nyaman dengan situasi yang ia hadapi.

Fatih membuka kaca mobilnya, "Adam, ayo berangkat," ujarnya.

Arya perlahan mendekatinya, lalu merangkulnya, "Kita sama-sama hadapi ini, Dam. Jangan ngerasa sendirian. Kita selalu ada sama lo sampai kapan pun."

"Ngapain pake dijelasin lagi? Enggak perlu penjelasan kita udah pasti selalu sama lo, Dam," sergah Kinos yang sudah siap seraya mengendarai motornya.

Adam hanya tersenyum tipis. Setidaknya, mungkin hanya mereka alasan satu-satunya ia harus bertahan sejauh ini.

Dan juga, Dinda.

***

Mereka kini sudah tiba di depan lobi rumah sakit. Mereka kemudian diarahkan untuk menunggu hasil forensik yang akan keluar di lorong kamar jenazah. Sudah tampak pula para aparat kepolisian yang sedari tadi berlalu-lalang di hadapan mereka, dengan wajah yang tentunya tidak bersahabat. Semua ini lalu menimbulkan tanda tanya dalam benak mereka masing-masing.

Adam duduk terpisah dari teman-temannya yang lain, berusaha untuk menyendiri. Ia masih perlu meredakan emosinya yang masih meluap-luap. Dengan perasaan harap-harap cemas, ia berharap hasil autopsi Ayahnya segera keluar.

Dinda hanya mampu menandang Adam dari kejauhan. Ia mengerti jika Adam masih perlu waktu untuk sendiri, namun jika ia boleh egois, Dinda sangat ingin menghampiri Adam dan menumpahkan perhatiannya kepada lelaki itu. Sungguh, terasa menyiksa menatap Adam yang hilang harapan dan semangat tak seperti biasanya itu.

Jam digital di depan pintu ruang jenazah menunjukkan pukul satu dini hari. Lampu merah di pojok atas masih berkelip-kelip kemerahan, pertanda proses autopsi masih berlangsung. Suasana saat itu sangatlah senyap, sunyi, dan hening. Banyak orang yang kelelahan dan setengah sadar. Tetapi sisanya berusaha untuk tetap berjaga, salah satunya Dinda. Jessie sudah terlelap di bahu kanannya, begitu pula beberapa kawan-kawan Adam lainnya.

HAIDAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang