00 | Luka Menjadi Alasan Kita Terpecah

609 41 3
                                    

.

.

.

.

Di dalam kamar itu, Biru bersembunyi di ujung ruangan, di antara sudut-sudut yang terasa sesak, di balik selimut yang tidak terlalu tebal. Tangannya berpeluk pada lutut dengan gemetar yang dinginnya berasal dari suhu kamar. Lampu yang padam membuat Biru tidak bisa melihat sesuatu di sekitarnya, jemari kedinginannya sekalipun.

Di malam yang tinggal beberapa manusia terjaga, dengan desir angin yang terdengar samar dari balik jendela, Biru kehilangan warnanya.

Dari ruang keluarga, sahutan-sahutan bengis terdengar membabi-buta. Lemparan barang-barang membuat Biru memejam mata. Dengan suara pecahan lain yang menyusul kehancuran mereka, Biru menenggelamkan wajahnya di lipatan lututnya.

Suara mama meninggi setelah lawan bicaranya mengempaskan tangan ke atas meja makan. Dengan keraguan, Biru memegang telinganya, berharap menutup saluran bunyi masuk ke dalam, tetapi takut tidak mampu mendengar panggilan namanya. Embusan napasnya menjadi berat, terasa sendatan yang ia tidak tahu apa.

Perdetik berubah menjadi menit, semakin lama Biru kalut dengan suasana rumah malam ini. Seharusnya ia sudah terpejam sejak satu jam yang lalu dengan kepala dingin di atas sapuan bantal guling. Tetapi gebrakan tipis yang masih Biru anggap kecil itu semakin berkobar menjadi api. Entah sejak kapan suara-suara itu menjadi berbeda. Semuanya terasa mimpi yang nyata.

"Sejak awal Mama berniat hancurin rumah ini, 'kan? Oke. Mari kita lakuin itu sama-sama dengan rusak semuanya dari dalam. Mama nggak akan kehilangan rumah mewah yang Mama agung-agungkan ini. Mama nggak akan kehilangan uang yang Mama simpan untuk diri sendiri. Mama juga nggak akan kehilangan darah daging Mama sendiri, karena Mama nggak pernah ngerasa semua itu untuk kehangatan rumah ini."

Suara itu menjadi suara terakhir yang mampu Biru tangkap sebelum gebrakan kasar mengejutkan tubuhnya. Di depan pintu, laki-laki dengan wajah marah mengambil langkah besar untuk menghampirinya. Biru bahkan tidak berani menatap mata itu yang seolah-olah menguliti orang di depannya. Alis yang menyatu menjadi tanda bahwa emosinya belum reda, yang membuat Biru tidak berani bersuara.

"Kita pergi, jauh dari rumah ini." Hanya kalimat itulah yang laki-laki itu sampaikan sebelum selimut yang dikenakannya disibak kasar.

"JINGGA!"

Untuk yang kedua kalinya, Biru dikejutkan oleh suara yang tiba-tiba. Pekikan lantang dari luar seketika menghadirkan kegelisahan dalam dirinya. Namun sepertinya, pekikan itu tidak mengganggu laki-laki di hadapannya yang masih berkutik dengan sesuatu di kakinya.

"Jangan berani kamu bawa Biru pergi dari sini!" Mama, wanita yang dengan murkanya berdiri di depan pintu, eksistensinya menghalau cahaya dari ruang keluarga yang masuk ke dalam kamar. Rambut hitam panjangnya terlihat berantakan, kentara dengan air wajahnya yang siap menghantam siapa saja. Di tangan kirinya terdapat sisir berwarna ungu kesukaan mama, entah apa yang dilakukannya sehingga sisir itu berada di sana.

"Kamu dengar Mama?! Jangan pernah kamu bawa pergi Biru dari sini!" Lagi-lagi, kalimat itu keluar dari belah bibir mama. Wanita itu tampak frustrasi sebab ucapannya dihiraukan oleh laki-laki itu. Wajahnya ketakutan seperti dikejar hantu. Ia kesetanan.

Jingga, si laki-laki itu, membanting benda besi yang berhasil tercabut dari kaki Biru sehingga terdengar dentum yang mengerikan, tetapi juga pilu. Dia berdiri dengan isi kepala teraduk, kemudian menatap mama di ambang pintu dengan tanpa haru.

SenyapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang