09 | Setiap Waktu yang Terus Berputar

105 13 0
                                    

⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆.ೃ࿔*:・

.
.

Awan hitam semakin ceruk menggelapkan langit. Usai petir-petir kecil menghiasi keheningan, gemuruh sengit mulai menyusul kemudian. Meski langit tampak akan segera membuat badai besar, tetapi tidak satu pun tetes air turun membasahi jalan.

Terkadang banyak orang tua melarang untuk menggunakan alat elektronik di kala guntur yang memekak. Tetapi Jingga lebih percaya jika dia berdiri langsung di tengah-tengah tanah lapang.

Di dalam kamarnya, ia menyumpal telinga dengan headphone dan bermain sebuah game moba di ponsel. Sepasang pengeras tersebut tidak menutup bunyi dari luar untuk masuk ke dalam menerima reaksi, hanya saja, Jingga menaikkan volume-nya cukup tinggi, apalagi ditambah dengan suara dari ponsel yang dimainkannya. Perpaduan antara musik dan efek suara dari game seperti tidak mengganggu fokusnya.

Jika Biru tidak membuka pintu kamar dan memberitahunya bahwa langit tengah meraung dalam, mungkin Jingga tidak akan tahu fenomena tersebut.

"Mama gimana?" Jingga bertanya selepas membebaskan telinga dari sumpalan headphone. Matanya melirik ke arah Biru yang menutup pintu dan berakhir menelungkup di ujung kasur.

Biru hanya berdehem tanpa berniat menjawab lebih spesifik. Kaus kaki masih melekat di kaki seperti ia baru saja pulang dari sekolah dan dengan berbalut seragam yang tidak se-rapi pagi tadi. Ia baru bisa melangkah dari area sekolah pukul lima sore usai pekerjaannya sebagai ketua kelas untuk mengumpulkan portofolio peringkat sepuluh besar di kelas.

Satu orang menunjuk Biru untuk menyatukan semua lembar di setiap tangan orang, kemudian yang lainnya pun ikut menaruh portofolio miliknya di meja Biru tepat sebelum pulang sekolah.

"Kayaknya lebih baik lo yang ngumpulin, deh, Bir, sebagai ketua kelas. Lagian, kayaknya Bu Raya nggak bakal ngasih penjelasan lagi. Tolong, ya."

Biru masih mengingat jelas apa yang mereka sampaikan sore tadi. Seperti yang mereka bilang, Bu Raya memang tidak menjelaskan apapun ketika Biru sampai di meja guru BK itu, melainkan suatu pernyataan lain seperti, "kompak, ya, kalian, ketua kelasnya bertanggung jawab besar." Meski tetap saja Biru rasa ini adalah bagian dari tanggung jawab masing-masing.

Jingga melirik pakaian Biru yang belum berganti. Dia mencuil lengan Biru dengan ujung jari kakinya dan berujar, "Balik-balik bukannya mandi, malah tepar di kamar gue."

Biru menampar punggung kaki laki-laki itu sembari merutuk pelan. "Kenapa, sih, numpang bentar doang."

"Lagian kamar lo di bawah yang tinggal nyelonong juga sampe. Ngapain naik ke sini?"

Kepala bersurai hitam itu terangkat menampilkan wajah kusut. "Tukaran, dong. Kamar gue di atas, lo pindah ke bawah." Dengan wajah melas, Biru mengangkat dari perpotongan lutut ke bawah dan diayun sedemikian gaya-berniat merayu Jingga.

SenyapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang