02 | Bunga Tidur di Pagi Hari

199 18 0
                                    

⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆.ೃ࿔*:・

.
.

Biru tidak bodoh untuk menyadari bahwa keluarganya itu perlahan hancur terkelupas sendiri dari hal-hal kecil. Kepergian papa membuat hidup mereka berhenti berputar dalam waktu yang panjang. Papa berhasil membuat ia, Jingga, juga mama bergantung kepadanya sehingga dengan gebrakan tangan di atas meja yang di bawah tangannya terselip selembar kertas pada hari itu mengubah hidup mereka.

Dimulai dari sikap papa yang berbeda, tutur katanya tidak lagi selembut biasanya. Bahkan hanya dengan perdebatan kecil yang seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan menjadi sulit dilerai. Papa seakan menuang minyak ke dalam bara api, semuanya jadi berantakan, yang bahkan biasanya akan teredam, tetapi hari itu Jingga ikut turun tangan.

Biru tidak mengerti. Jingga yang biasanya adalah orang paling sabar, justru menatap mata papa dengan nyalang. Sampai-sampai Biru menyaksikan wajah tak percaya mama yang masih terkejut dari balik punggung bungsunya.

Biru merasa detik-detik itu adalah kejadian di dalam mimpinya, yang selalu Biru doakan tidak akan pernah menjadi nyata. Namun, bantahan marah dari Jingga yang menyebabkan pipinya mendapat pukulan keras dari papa, juga detakan kencang di dalam dadanya membuat Biru tersadar, ia harus menghentikan semuanya sebelum benar-benar menjadi runyam.

"PAPA!" teriakan yang Biru rasa adalah teriakan paling tinggi yang pernah ia perdengarkan membuat suasana gaduh di tengah ruang keluarga menjadi senyap. Hanya detakan jarum jam besar yang menggantung di dinding sebelah meja makan menjadi pengisi keheningan di antara mereka.

Kepala Biru memanas, hatinya bergejolak melihat sosok pria yang ia kagumi mendadak menjadi seperti orang yang tidak pernah Biru kenal sebelumnya. Biru menarik lengan Jingga agar menjauh dari sana, tidak ingin pukulan papa mendarat di bagian lain pipi Jingga. Ia meraih wajah masam itu dan mendapati sudut bibir Jingga yang pecah sehingga mengeluarkan darah. Juga ada bekas memerah kebiruan yang Biru tangkap di tulang pipi Jingga.

Biru merasa pijakannya bergoyang. Luka di wajah Jingga benar-benar nyata, bukan mimpi yang pernah Biru rasa. Amarah Jingga juga benar-benar tampak di depannya, bahkan Biru dapat merasakannya.

Sebagai anak pertama dalam keluarga mereka, Biru merasa sudah cukup dewasa untuk mengerti keadaan dan harus bertindak menyelesaikan masalah ini. Sebab yang ia lihat, mama tak mampu hanya untuk meladeni omongan papa. Wanita itu bahkan menopang tubuh dengan menumpu tangan di kursi sebelahnya.

Dengan keberanian diri, Biru bersuara. "Papa berubah. Biru nggak tahu faktor apa yang buat sikap Papa jadi kasar kayak gini. Bukannya biasanya Papa selalu ngalah? Apa yang Papa lakuin di luar sana yang nggak kita tahu sampai buat Papa jadi gini? Bahkan sampai ngajuin surat perceraian ini, Pa?"

Papa tidak langsung menjawab pertanyaan itu yang menyebabkan Biru mengambil tempat di hadapan papa. "Papa pernah ngajarin untuk nggak berbicara kasar di depan perempuan. Papa nggak pernah main tangan. Papa juga nggak pernah dikalahin oleh ego Papa sendiri. Tapi sekarang, Papa ngerusak prinsip yang pernah Papa ajarin juga terapin di keluarga ini. Sejak kapan semuanya jadi begini, Pa?"

SenyapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang