07 | Rumah Para Bintang

102 13 0
                                    

⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆.ೃ࿔*:・

.
.

Langit malam itu masih sama seperti malam sebelumnya, masih sama dinginnya, dan masih sama sunyinya. Tidak ada yang berbeda selain kelam yang kembali muncul setelah tahun pertama. Seperti tidak ada pertanda kehidupan yang menghuni rumah, masing-masing dari mereka sibuk bersarang di kamar.

Masih dalam keadaan gulita, hanya dapur yang menjadi sumber cahaya di penjuru rumah. Binar temaram yang berasal dari ubin kecil di atas meja bar yang tidak cukup terang kini berperan sebagai penerang utama.

Usai melewati badai yang mencekik malam, hanya senyap yang menjadi sorotan terakhir sebelum mereka menginjak garis masing-masing. Mama mengurung diri di dalam kamar selepas Jingga menyerok serpihan kaca dengan sapu yang dibiarkan menyudut di kepung dinding. Sementara ia membawa Biru untuk menenangkan diri di kamarnya sendiri.

Bahkan sampai waktu menunjuk tengah malam, Biru belum bisa memejam mata dengan tenang. Ia bergelung dengan selimut di saat pendingin ruangan tidak dinyalakan. Meski benda penting yang biasa ia gunakan untuk mendengar tidak terpasang, dengung asing membuat telinganya tidak nyaman.

Jingga sudah kembali ke kamarnya sendiri setelah yakin bahwa Biru akan segera terlelap. Memastikan Biru benar-benar sudah tenang dengan pakaian baru yang niat awal ia pasangkan, tetapi dicegah oleh si empunya. Dengan segelas teh hangat yang sesudah Biru kecap terasa kemanisan, Jingga meninggalkan Biru dengan aman.

Untungnya Jingga tidak mendapat luka berarti di tubuh Biru. Mungkin hanya lebam yang akan timbul di hari kemudian.

Biru masih terjaga sampai lewat tengah malam. Tanpa mampu telinganya dengar, ada suara-suara berisik dari dapur yang masih terang. Laki-laki yang baru saja mengganti seragamnya dengan baju tidur itu turun lagi ke bawah untuk membersihkan kotoran yang masih ada. Milkshake cokelat yang sengaja ia bawakan untuk Biru ternyata kandas diserap lantai.

"Lima puluh ribu gue kebuang sia-sia. Sial," gumam Jingga bermonolog. "Mahal juga se-milkshake gitu doang masa setengah harga dari tempat-tempat lain. Mau nyaingin Sbux apa?"

Dialognya dengan angin barusan ternyata memicu pendengar lain dari seberang. Bunyi pintu terdengar dibuka memancing keingintahuan Jingga. Dugaannya itu adalah mama yang mungkin sudah membaik ternyata salah. Biru berjalan mendekatinya dengan memegang gelas yang Jingga tahu berisi teh yang ia bawa.

Tidak membiarkan Biru berbicara lebih dulu, Jingga menyemprotnya dengan ketus. "Kenapa belum tidur? Udah pagi, lihat. Tehnya kurang manis? Gue sengaja, nanti lo diabetes. Udah, sana balik."

Biru tak berkutik dengan bingung. Sebetulnya, ia ingin membuat teh baru dengan gula yang lebih sedikit dari buatan Jingga. Ingin menyangga, matanya lebih dulu menangkap kegiatan laki-laki itu.

"Itu tumpahan apa, Ga?" tanyanya ikut berjongkok dan memerhatikan apa yang Jingga lakukan.

Jingga melirik sebentar, kemudian lanjut mengelap basah tersebut dengan tisu yang sudah bertumpuk di sebelahnya. Jingga ragu ingin mengatakan bahwa ini adalah milkshake cokelat yang ia beli, tetapi tumpah sebelum sempat ia berikan kepada Biru. "Kopi. Gue nggak sengaja kesandung sebelum sempat diminum." Lantas katanya singkat.

SenyapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang