12 | Warna yang Kembali

81 12 2
                                    

Demi menyongsong hari esok yang Biru sendiri tidak dapat memastikan apakah langit pagi akan lebih terang, langkah terburu membawanya pada sinar di tengah langit berawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Demi menyongsong hari esok yang Biru sendiri tidak dapat memastikan apakah langit pagi akan lebih terang, langkah terburu membawanya pada sinar di tengah langit berawan. Bagai hijau di tengah gurun, Biru sulit menahan senyumnya agar tidak terlalu lebar sembari menggenggam sebuah asa.

Di antara langkahnya, Biru tersandung, hampir mendaratkan kening di sandaran kursi. Rautnya kentara berbinar melihat mama baru kembali dari dapur dengan membawa dua gelas susu. Mendengar ada suara dentuman kaki Biru yang hampir terjatuh menciptakan keingintahuan dari wajah wanita itu.

"Kenapa lari-lari? Baru pukul enam kurang, loh?" Mama memulai suara dengan intonasi normal. Usai menaruh dua gelas tersebut di atas meja, mama menatap Biru, mengajaknya mendekat untuk duduk bersama.

Tetapi Biru tidak mengindahkan tatapan mama, justru ia menghampiri tempat duduk wanita itu dan menubrukkan tubuhnya. Ekspresi bingung dan terkejut menyatu di wajah mama, meski tangannya kerap pula mengelus punggung anak laki-lakinya.

"Makasih udah kembali." Di ceruk leher mama, Biru berkata dengan suara yang tidak terlalu jelas. Ia memejam mata sembari mengeratkan pelukan.

Meski tidak lagi muda, wanita yang masih sama menawannya seperti baru saja melahirkan anak pertama itu tertawa pelan. "Dateng-dateng langsung meluk Mama, ini ceritanya gimana?" Mama merasa gemas dengan sikap tiba-tiba putranya tersebut. Rasanya ingin menimang Biru seperti saat masih bayi dulu, tetapi bayi yang di hadapannya sudah beranjak remaja dan tumbuh menjadi lebih tinggi darinya.

"Mama beneran baik-baik aja, 'kan? Mama pusing, nggak? Nggak ada yang sakit, 'kan?" Biru melepas pelukan dan berganti menatap mama khawatir. "Mama duduk aja, biar Biru yang nyiapin sarapan."

Dialog Biru barusan membuat mama berpura-pura menyendu. "Anak Mama udah besar, udah mandiri, nggak mau dimanjain lagi. Bahkan sarapannya mau buat sendiri. Terus Mama harus apa kalo anak-anak Mama mau ngelakuin semuanya sendiri? Mama udah tua, cuma ini yang bisa Mama lakuin buat anak-anak Mama."

Dan benar saja, Biru menjadi gelagapan. "B-bukan gitu maksudnya. Biru cuma nggak mau Mama capek. Lagian, Biru udah biasa buat sarapan, kok. Mama nggak perlu repot nyiapin sendiri. A-atau enggak, Mama bisa panggil Biru buat bantu."

Mama tersenyum manis. Kerutan di ujung mata malah membuat wajah mama tampak berseri. "Bercanda. Mama baik-baik aja, sayang." Kemudian mendudukkan Biru di tempatnya semula dan mengitari meja untuk duduk berseberangan.

"Sarapannya juga udah selesai. Kayaknya Mama masaknya kepagian, nggak apa-apa, 'kan?"

Biru mengembus napas mengalah sebelum menggeleng dan bersuara, "Nggak kepagian. Kayak jam biasanya, kok," katanya, kemudian menyeruput susu cokelat buatan mama.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, mimpi buruk memaksa Biru terbangun dari lelap. Lampu yang dipadamkan membuatnya tidak bisa melihat apa-apa sehingga memilih membuka jendela kamar daripada menyalakan saklar. Berdiri di depan pembatas kaca yang dibuka dan menghirup udara pagi buta. Setidaknya dengan cara ini, pelipur lara tadi bersembunyi kembali.

SenyapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang