01 | Ada Langit yang Menangisi Kita

342 25 2
                                    

⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆.ೃ࿔*:・

.
.

Malam pada hari itu, rumah yang hampir menempuh titik hampa terasa semakin sepi, yang setiap sudut bangunannya menjadi lebih dingin. Dalam satu malam berubah menjadi lautan air mata, isakan bersahutan terdapat di dalamnya. Seperti kehilangan makna, jarak di antara mereka masih tercipta. Luka mereka belum sembuh. Setiap malamnya selalu ada mimpi buruk yang membuat akal mereka kusut.

Ada di suatu malam lainnya, rumah yang setiap sudutnya terasa dingin, mereka bersembunyi di kamar masing-masing. Tidak ada temu jumpa, tidak ada suara, tidak ada senyum dan tawa. Seperkira Biru, rumah mereka masih baik-baik saja. Tetapi hari itu, tidak ada mama yang sedang memasak di dapur atau menghidangkan makanan di meja makan, juga tidak ada Jingga yang sibuk dengan laptopnya di ruang keluarga. Bahkan Biru rasa, setiap barang yang pernah menjadi titik temu tawa mereka sudah diselimuti debu.

Biru kira, setelah tangisan yang membuat mereka berakhir jatuh bersama bisa membuat dinginnya rumah mereka menjadi kembali hangat. Biru kira, malam yang menjadi saksi bisu pertengkaran saat itu bisa mengembalikan cerahnya dunia di semesta mereka. Tetapi yang mereka dapat justru bukan bahagia. Suasana rumah masih sama seperti malam-malam sebelumnya, bahkan Biru katakan setelah malam itu, tidak ada yang istimewa.

Bertepatan dengan jendela kamar yang dibuka, angin kencang berembus masuk ke dalam. Biru memejam menikmati udara segar dini hari ini, seharusnya. Namun sepertinya, yang Biru lakukan bukan hanya untuk merasakan angin dini hari, terlihat dari helaan napasnya yang sama beratnya seperti malam tadi.

"Kapan, ya, terakhir kali gue bisa ngehirup udara dengan lega kayak gini?" Biru bergumam pelan sebelum akhirnya memilih bertopang siku di pinggiran jendela. Langit di luar masih gelap, lampu-lampu rumah di sekitarnya juga masih belum padam, terbukti bahwa pemiliknya masih terlelap dalam tumpukan kasur di kamar masing-masing. Pukul setengah lima, angka itu yang Biru lihat dari jam dinding di dalam kamar. Tampaknya ia bangun terlalu awal.

Tidak ada yang istimewa. Hanya Biru yang mencoba melupakan penatnya sejenak, pula ia juga tidak berniat beranjak dari sana.

Kepalanya terasa berat sebab meluapkan tangis tadi malam, dan berakhir tertidur di atas ranjang. Hanya tiga jam jangka yang bisa ia gunakan untuk memejam, selebihnya tertidur pulas dalam beberapa menit, kemudian dibangunkan oleh mimpi yang rumit. Biru rasa, jam weker yang berada di atas nakasnya tidak lagi berguna. Sebab, setiap akhir-akhir ini Biru selalu dibangunkan oleh mimpi buruk.

"Masih terlalu pagi buat mandi." Begitu katanya sebelum mendongak ke atas langit, yang di dalam gelapnya ada banyak cahaya kecil. Di sana, bintang-bintang bertebaran acak, menciptakan perasaan ingin menggapainya dari kejauhan ini. Apa dia harus mati dulu baru bisa meraih bintang-bintang itu? Sebab katanya, jiwa orang yang mati akan tinggal di atas langit.

Perasaan kalut muncul kembali di benak. Biru merasa semuanya runyam. Berada di antara keinginan untuk mencairkan suasana canggung di rumah ini, tetapi tidak tahu harus berbuat apa.

SenyapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang