10 | Sebuah Rasa yang Berbeda

192 14 0
                                    

⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆.ೃ࿔*:・

.
.

Padat menjadi kata paling tepat untuk menyebut situasi di tengah ratusan manusia berkeliaran. Biru dibuat berdesak-desakan di antara impitan orang-orang yang menyerbu antrean stan makanan. Ketika bel berdentang dengan lantang dan secara serentak kelas diselesaikan, bahkan sebelum guru keluar dari kelas, siswanya sendiri sudah terbirit-birit berlarian.

Melihat kelas yang mulai kosong, hanya tersisa bagi mereka yang membawa bekal, Biru baru bergerak menuju kantin seorang diri. Karena terlambat bangun juga tidak ada mama yang membangunkannya, Biru tidak akan mengharapkan Jingga untuk masuk ke kamar dan menyuruhnya membuka mata.

Dan seperti yang tertulis di alinea sebelumnya, Biru terbangun dengan kejutan yang tidak lain berasal dari mimpi seperti malam-malam lain karena jam weker tidak akan berfungsi sebelum alat bantu dengar terpasang di telinga. Dengan langkah terburu-buru dan hampir terjerembab oleh kaki sendiri sehingga melewatkan sarapan pagi.

Biru sempat melihat mama keluar dari kamar tanpa sepatah-kata, wajahnya terlihat sembab dan kacau. Pada awalnya, Biru ingin mengajak mama berbicara, tetapi Jingga sudah meneriakkan namanya di luar rumah dengan mesin motor yang sudah menyala.

Sedih karena tidak memiliki cukup waktu untuk sekadar bercengkerama, Biru hanya memeluk mama dan menyerahkan seutas kalimat, "Maaf, Ma, Biru nggak sempat bikin sarapan. Kalo Mama udah ngerasa mendingan, jangan lupa makan, tapi banyakin istirahat. Kayaknya jangan beraktivitas yang berat dulu, serahin aja toko kue sama Mbak Jinah untuk sementara waktu sampe Mama udah ngerasa jauh lebih baik. Biru berangkat dulu, ya, Ma."

Mama hanya melirik sendu tanpa berniat membalas kata-kata itu. Namun, jauh di lubuk hatinya, wanita itu merasa bersalah hanya untuk menatap mata anaknya.

Dengan semua kronologi singkat itulah Biru bisa berakhir di kerumunan ini. Beberapa kali ia meringis karena seseorang berteriak rusuh yang membuat telinganya berdengung. Tidak sarapan pagi menyebabkan cacing di perut terasa saling bergelut di dalam sana dan memutuskan pergi ke kantin untuk membeli makanan, kemudian kembali ke kelas untuk menyantapnya.

Biru jarang menginjak kaki di sini dan lebih sering menghabiskan waktu di kelas selama jam istirahat. Terkadang ditemani bekal atau sebuah buku sampai-sampai ia merasa sedikit asing dengan suasana kantin. Biru tidak tahu akan memilih apa dari banyaknya stan makanan dan minuman. Ia memilih mengikuti insting juga arus kerumunan membawa tubuhnya pergi.

"Minggir, ah! Udah setengah jam gue sabar di sini!"

Teriakan itu lagi. Biru mencari-cari sumber suara tersebut sampai menjinjit di antara tiang-tiang tinggi. Ia sampai berdecih kecil dibuatnya, mendatangkan sebuah telinga yang akhirnya melirik ke arahnya.

"Sabar, emang begini tiap hari. Apalagi kalo datang si perusuh." Biru menyengir malu sampai meminta maaf karena kesalahpahaman yang tercipta. Bukan hanya satu atau dua orang yang menceracau seperti tadi, makanya Biru terasa kelimpungan.

SenyapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang