03 | Donat Tanpa Cokelat

146 19 1
                                    

⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆.ೃ࿔*:・

.
.

Tidak ada yang lebih luar biasa daripada menerima. Malam yang membawa terbang mimpi-mimpi manusia bahkan menerima bintang-bintang mengisi langitnya. Tanah kering yang terasa panas pula juga menerima hujan yang membasahinya. Tidak terkecuali bagaimana perasaan Biru yang sering diberi ujian batin kini menatap sabar satu persatu teman-temannya.

"Harus banget malam ini?" Biru bertanya untuk kesekian kali, mencoba memberi pertimbangan untuk disetujui.

Salah satu di antara empat orang itu tampak tidak senang. "Ya, maksudnya kalo keburu sore, ya, sore. Lebih cepat lebih bagus, nggak mesti malam juga. Sebelumnya kita udah rencanain balik sekolah ini langsung ke rumah Riko, tapi ternyata Serena ada part time. Kita tinggal nentuin waktu lo aja, semuanya udah setuju. Jangan terlalu ngulurin waktu, kita nggak tahu kesibukan orang kayak gimana."

Biru menjadi bimbang dengan keputusannya sendiri. Apalagi mendengar balasan tidak menyenangkan dari orang itu, juga tatapan tidak mengenakkan tiga orang lainnya. Biru sedikit mengutuk pemilihan kelompok ini, sebab guru mereka memberi kebebasan untuk memilih anggota masing-masing sebagai ganti ditentukan acak melalui absen.

Dan ternyata hanya Biru sendiri-lah yang tersisa. Tidak ada yang berniat mengambilnya sebagai anggota kelompok mereka. Orang-orang itu lebih memilih membuat kelompok sesuai lingkaran pertemanan mereka sendiri, dan Biru menjadi kecuali. Meski Biru dikenal sebagai penyandang juara 1 umum kelas dua belas sekalipun, yang mana bisa dipercaya bagaimana caranya menyelesaikan persoalan akademik. Untuk kategori ini, Biru adalah orang yang dapat diandalkan.

Tetapi Biru tetap tidak menjadi pilihan.

Lama-lama ditatap seperti itu membuat Biru gugup. Mereka seolah menanti jawabannya tergesa-gesa, bagai tidak memberi waktu kepada Biru untuk memikirkannya.

"Kalau setuju, nanti biar kita langsung bagi-bagi materi, biar nggak terkesan tanpa persiapan." Laki-laki yang namanya disebut tadi, Riko, menyahut dengan santai.

Biru tergagu setengah mati. Daripada meminta persetujuannya, mereka lebih dari memaksa Biru untuk mengikuti agenda yang mereka tentukan sendiri. Katanya, kebetulan saat itu mereka sedang berkumpul, sementara Biru tidak berada di antara mereka. Meski begitu yang Biru dengar dari mulut Riko, Biru tidak bodoh untuk percaya bahwa mereka hanya menyimpulkan sesuatu tanpa adil.

"Guru pada rapat, nih, mau balik gue." Masih di antara keempatnya, seseorang menyeletuk sembari menengadah tinggi untuk menghilangkan rasa bosannya. Kalimatnya itu membawa sindiran bagi teman-temannya. Lain dengan Biru yang masih bergelut dengan pikirannya.

"Haus, ya. Beliin minum, dong, El. Klasik, Klasik, americano boleh, lah." Laki-laki bertagar nama Bagas, yang berbicara pertama kali padanya tadi membalas sahutan Riko. Mereka berbincang dengan menyebut-nyebut nama kafe yang biasa mereka jadikan tongkrongan. Eksistensi Biru seakan buram, mereka asik bercanda.

SenyapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang