08 | Setelah Mengerti, Lalu Apa?

120 14 0
                                    

⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆.ೃ࿔*:・

.
.

Biru bersumpah, seburuk apapun kondisinya, ia tidak akan membenci dirinya sendiri. Suara-suara yang sering terdengar menyakiti selalu Biru diamkan tanpa perlawanan. Bahkan terkadang, Biru berterima kasih dengan kekurangannya, sebab itu pula Biru menjadi sedikit tahu pribadi orang-orang.

Terkadang, Biru ingin mempunyai telinga yang normal sehingga ia bisa mendengar tanpa alat bantu. Tetapi dalam satu kondisi, Biru tidak ingin mendengar suara orang-orang yang berbisik mengenainya, tentang kekurangan yang ia punya. Seakan tuli adalah sesuatu yang sangat memalukan hingga orang-orang terlihat enggan mendekatinya.

Terlibat dalam dua keinginan yang tidak akan pernah selesai. Biru bimbang harus bersyukur atau justru menderita.

Dari kejauhan, Biru memperhatikan saudara kembarnya yang hanyut dalam guyonan. Sesekali tertawa, tetapi lebih banyak mengumpat marah. Sikap apatis yang Jingga keluarkan justru menarik banyak teman. Entah kelebihan apa yang mereka temukan dan Jingga tampak tidak mempermasalahkannya.

Awalnya, Biru iri. Apakah itu artinya tidak ada yang menarik dalam kepribadiannya atau Biru yang terlalu menutup diri?

Biru tidak ingin terpengaruh oleh perasaan sentimental yang membuatnya menaruh rasa iri terhadap Jingga. Setiap serangan itu datang, Biru selalu mengingat-ingat kebersamaan mereka, dengan itu sentimennya akan sirna. Namun, apakah Biru harus menyalahkan dirinya sendiri sebagai gantinya sebab tidak mampu menciptakan komunikasi yang baik?

Meski tampak tidak peduli, sebetulnya Biru menahan diri. Sejak awal pergantian tahun, Biru adalah orang pertama yang paling antusias akan menemui banyak teman. Tetapi Biru tidak cukup terbuka sehingga lingkaran pertemanannya hanya berhenti di sana. setelah semuanya terjadi, Biru tidak merasakan perbedaan, justru terjadi penurunan.

Apalagi ambisinya untuk bersosialisasi dengan banyak orang tertunda sejak kekurangannya lahir. Biru menjadi tidak percaya diri. Gelagat orang-orang di sekitarnya yang tanpa sadar menunjukkan ketidaksukaan membuat Biru semakin menutup diri. Entah bisa dikatakan ini salahnya lantaran tidak cukup atraktif.

Biru mulai menemukan kegemarannya akan ekspresi sejak usia remaja awal. Ia senang menciptakan berbagai raut muka dan mulai menilik lebih dalam akan pengertian dan maknanya. Biru pikir, ekspresi hanya butuh menunjukan bentuk tarikan wajah sesuai emosi, tetapi nyatanya tidak sesederhana itu.

Saat itu, Biru hanyalah anak pra-remaja yang belum tahu cara mengungkap psikis seseorang dan termasuk dirinya sendiri. Berbagai hal terkait emosi dan jiwa seseorang, Biru bahkan belum mengerti. Ada banyak roman yang sering tersimpan, tidak tahu kapan harus ditunjukan dan kapan harusnya lebih baik ditahan.

"Emosi itu bukan cuma bisa disimpulkan dengan tingkah laku aja. Ada yang bisa dibaca, ada yang harus dirasa. Biru tahu, nggak, kenapa?" Ucapan papa masih tersemat jelas dalam ingatannya.

SenyapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang