03

52 5 0
                                    

“Ayah!”

Stevy tercekat kala melihat sang Ayah nampak masih sibuk memegang minuman keras di tangannya. Dia menatap kearah Stevy yang baru saja datang dengan kondisi sedikit berantakkan karena mendapatkan telpon dari tetangganya bahwa sang ayah membuat ulah lagi.

“…. Kamu sudah … datang, Stevy.”

Perlahan Stevy menghela napas. Dia menahan perasaan sesak di dadanya saat ini untuk tidak menangis melihat kondisi sang ayah yang tidak pernah berubah sejak dulu. Sesaat kemudian, dia pun mendekati pria itu dan duduk di sampingnya.

Aroma alkohol menguar jelas di indra penciumannya. “Apa yang telah Ayah lakukan? Kenapa mengganggu tetangga lagi?”

Tidak ada jawaban yang ayahnya berikan. Pria itu hanya sibuk menikmati alkohol di tangannya. Dan dengan emosi, Stevy langsung meraih botol minuman keras itu dan membuang isinya.

“Hei! Hei! Kamu—”

Prang!

Setelah membuang isinya, Stevy memecahkan botolnya di belakang rumah hingga mengenai batu sampai akhirnya menimbulkan suara di sana.

“Stevy! Apa yang kau lakukan, hah?!”

“Cukup, Ayah! Stevy lelah!” balas gadis cantik itu kini dengan derai air mata yang sudah tidak tertahankan lagi. “Sampai kapan Ayah akan seperti ini? Pantas saja Ibu dan abang-abang pergi ninggalin Ayah. Karena Ayah memang tidak pernah mau berubah! Apa Ayah mau Stevy juga ninggalin Ayah? Huhuhu.”

Mendengar suara tangis putrinya, pria itu terdiam seribu bahasa. Meski alkohol membuatnya mabuk, tapi dia masih berpikir waras jika Stevy sudah menangis seperti itu.

“… Stevy, maafkan Ayah, Nak.”

Stevy menoleh pada sang ayah dengan wajah yang sudah tertutupi kedua tangannya. Netranya menatap sendu dan penuh kasih pada pria itu. Jika saja Allah tidak memintanya untuk berbakti pada orang tua, atau jika saja ia tidak sayang pada sang ayah, mungkin sejak lama ia pergi dari rumah itu.

Tapi sungguh, dia sama sekali tidak bisa melakukannya. Terlebih, tidak ada siapa-siapa lagi di sisi ayahnya. Semua orang telah meninggalkan dirinya. Hanya dia keluarga yang pria itu miliki. Bahkan saudara-saudaranya pun, tidak ada yang peduli dengan mereka.

“…. Ayah minta maaf. Jika kamu lelah … kamu juga bisa pergi ninggalin ayah. Kamu berhak mencari kebahagiaan kamu sendiri di luar sana.”

Hati Stevy merasa sesak mendengar hal itu. Mana bisa dia meninggalkan ayahnya. Sedang hanya sang ayah juga keluarga yang ia miliki. Ibunya menghilang bak di telan bumi. Begitu pula dengan saudara-saudaranya.

“Ayah—”

Huweeek!!

Seketika pria itu muntah di lantai kala Stevy hendak berbicara. Dan tanpa mengatakan sepatah kalimat pun, Stevy langsung membantu ayahnya dan membawanya ke toilet untuk melanjutkan muntahannya di dalam sana.

Dengan tanpa rasa jijik sedikitpun, Stevy membantu sang ayah. Dia bahkan sudah melupakan kesedihannya dan fokus mengurus ayahnya. Biar bagaimanapun, pria pemabuk dan penjudi itu adalah ayah yang telah Allah tentukkan untuknya. Dia tidak bisa memilih dari orang tua mana dia diciptakan di dunia. Kaya ataupun miskin. Baik ataupun kurang baik. Semuanya harus ia terima dengan lapang dada dan hati yang bersih.

Tarbiyah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang