14

36 5 0
                                    

Suara musik disko menggema di seluruh ruangan bar tempat Orion berada. Dia duduk di kursi sedang seorang wanita tengah menunduk di hadapannya sembari menikmati gorila. Sementara Orion sendiri juga ikut sibuk menghisap sabu-sabu yang baru saja dibawakan oleh Dicky.

Leo menatapnya jijik. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Stevy kala melihat suaminya dalam keadaan seperti ini dengan wanita lain. Ingin rasanya dia menarik Orion dari sana dan membawanya pulang ke rumah Stevy—tempat seharusnya sahabatnya itu berada. Sayangnya, dia tidak memiliki kuasa apapun. Sebab Orion akan semakin membencinya jika ia melakukan itu.

Beberapa saat yang lalu, Orion datang dengan ekspresi marah besar. Dia langsung menarik wanita manapun yang ada di dalam sana dan membawanya ke kamar untuk dinikmati. Setelahnya, dia keluar meninggalkan wanita itu dan menarik wanita lainnya lagi namun hanya untuk memberikannya kenikmatan. Sedang dia sama sekali tidak mau menyentuh mereka. Orion benar-benar merealisasikan apa yang dia katakana pada Stevy tadi tanpa sedikitpun memikirkan perasaan gadis itu.

Lagipula, Orion hanya akan menunggu selama beberapa hari sebelum memenuhi tantangan dari Dicky. Setelahnya, dia tinggal mengambil keputusan antara membuang Stevy begitu saja atau masih mempertahankannya dengan syarat untuk menjadi partner seks-nya.

“Le!” panggil Dicky setengah berbisik membuyarkan lamunan Leo yang juga sedang menenggak alkohol saat ini. Leo melirik pada Dicky dengan ekspresi penuh tanya. “Anna mana?”

Leo menggeleng. “Gue enggak tahu. Dia enggak ada kabar.”

“Hm. Padahal gue nungguin dia.”

“Mau ngapain?”

“Ajak ngamar.”

“Brengsek lo! Anna bukan cewek murahan. Dia bahkan enggak pernah kissing!” umpat Leo kesal. Dia dan Orion seperti saudara bagi Anna. Dan akan selalu melindungi gadis itu. “Jangan pernah berniat deketin dia kalau Lo enggak mau habis di tangan Orion dan gue!”

Dicky bungkam seribu bahasa. Dia seakan tidak bisa percaya dengan ucapan Leo. Bagaimana bisa seorang gadis yang berkeliaran malam dan waktunya dihabiskan dengan minum alkohol beserta barang-barang haram lainnya, belum pernah tersentuh oleh pria manapun?

Tapi hal tersebut bisa saja terjadi jika orang seperti Orion dan Leo sebagai pelindungnya. Mereka pasti tidak akan berani saat tahu siapa orang di belakang Anna.

“Lo—”

“Yon!” panggil Leo, tidak sengaja memangkas ucapan Dicky saat melihat Orion sudah membuang wanita yang melayaninya barusan bersama uang yang dilempar kearahnya. “Ayo pulang.”

Orion menatap sengit kearah Leo. Dia meraih minuman di tangan Leo yang hanya tinggal setengah botol itu dan menenggaknya hingga habis.

“Pulang kemana? Gue masih mau main.”

“Cukup, Yon.” Leo menarik Orion untuk bangkit. Dia tidak terlalu mempedulikan Dicky yang ada di sana dan beberapa teman mereka yang lainnya. “Lo udah mabuk berat. Mending sekarang kita pulang. Istri lo pasti udah nungguin lo di rumah.”

“I don’t care! Enggak usah gangguin gue! Sana lo!” usir Orion tanpa peduli sedikitpun dengan Stevy. Lagipula Stevy hanya istri sementaranya yang akan dia gunakan satu kali untuk mendapatkan apapun dari Dicky. “Dan lo juga jangan pernah ikut campur apapun dalam masalah gue dan dia. Paham lo?!”

Tidak ada jawaban yang Leo berikan. Dia hanya mencegah wanita manapun lagi yang Orion panggil untuk melayaninya tanpa henti. Setiap ada wanita yang mendekat, Leo akan mengusirnya, tanpa peduli dengan umpatan demi umpatan yang Leo layangkan padanya.

**

Sementara di sisi lain, Stevy malah sedang disibukkan dengan mengerjakan tugas kuliah yang akan dia kumpulkan besok. Meski sejak tadi pula, dia selalu menunaikan shalat kala hatinya kembali merasa tidak enak. Dua orang laki-laki di rumah itu yang seharusnya ada di sana dan melindungi dirinya, kini malah entah menghilang kemana.

Stevy ingin mencoba mengabaikan hal itu. Namun sebagai anak dan istri, mana mungkin dia melakukannya? Tentu saja rasa khawatir akan selalu menjelma dalam hati dan siap memporak-porandakkan perasaannya.

Haaaah.

Panjang sekali Stevy menghela napas. Dia menghentikkan gerak tangannya untuk mengetik di notebook yang dia beli sebelum masuk kuliah menggunakan uang yang sedikit demi sedikit dia tabung saat masa di pesantren. Sembari memijat keningnya yang sedikit pusing, Stevy menatap kosong kearah layar yang menampilkan tugasnya. Hingga tidak lama setelahnya, suara dobrakan pintu terdengar dan membuyarkan atensi Stevy.

“Stevy! Ayah pulang!” seru Anwar, membuat Stevy bersegera keluar dari kamar dan melihat apa yang terjadi.

Dan lagi-lagi, Stevy menghela napas panjang seakan sudah terbiasa melihat pemandangan dimana sang ayah akan pulang dalam keadaan mabuk dan membawa botol minuman di tangannya.

Dengan hati yang nyeri, Stevy mendekat dan membantu sang ayah tanpa mengatakan sepatah katapun. Karena jika dia membuka mulut sedikit saja, maka air mata yang berusaha dia tahan sejak tadi akan mengalir deras membasahi pipi.

“… Kenapa kamu diam saja, Stevy? Bukankah biasanya kamu akan sangat cerewet mengomeli ayah, Nak?”

“Untuk apa?” balas Stevy dengan bibir bergetar seraya membantu sang ayah dan menuntut pria mabuk itu ke dalam kamar. “Bahkan hingga mulut aku berbusa sekalipun, Ayah sama sekali tidak mau mendengarkanku.”

“Hahahah. Kamu sudah mulai lelah, ya?”

Tidak ada tanggapan lagi yang Stevy berikan. Matanya sudah berkaca-kaca dan berulang kali dia mengatur napas agar tidak memperlihatkan tangisan dan kelemahannya.

“Maafkan Ayah. Karena Ayah juga malah menjualmu dan menerima Orion sebagai suamimu. Dia pasti sedang berada di bar lagi malam ini.”

Stevy menatap sang ayah dengan tatapan tidak mengerti. Dia mendudukkan sang ayah di atas tempat tidur dan meraih botol minuman di tangannya kemudian membuangnya dengan emosi di tempat sampah yang ada di belakang rumah.

“Ayah enggak perlu minta maaf. Karena semuanya udah terlanjur terjadi. Harusnya, jika Ayah merasa bersalah, Ayah enggak akan melakukan itu.”

“Ayah hanya berpikir, kamu mungkin bisa memenuhi keinginanmu untuk haji dan umrah dengan menikahkanmu dengan Orion.”

“Ya. Entah hal itu akan terjadi atau tidak. Stevy tidak ingin berharap banyak. Sekarang Ayah tidurlah. Tolong jangan buat aku benar-benar lelah.”

Anwar menatap sang anak dengan netra penuh perasaan bersalah. Dia menyesal sesungguhnya menikahkan Stevy dan Orion hanya karena hutangnya dan ambisinya bermain judi dan juga minum alkohol. Namun seperti kata Stevy, semuanya sudah terlanjur terjadi. Dia tidak akan bisa mengubahnya lagi.

Pria itu mengangukkan kepala. Dia naik ke tempat tidur dan mulai istirahat. Membiarkan Stevy keluar dari kamarnya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Namun langkah Stevy tertahan kala suara seorang wanita tengah memanggil dari luar seraya mengetuk pintu rumahnya.

Stevy melangkah cepat kearah pintu rumah dan membukanya. Dan mulutnya seakan membisu kala melihat Orion yang tengah mabuk, berciuman dengan wanita yang menggunakan pakaian kurang bahan tepat di hadapannya.

‘Ya Allah. Apa semua ini?’ batin Stevy dengan luka yang tidak dia ketahui apa maknanya

Tarbiyah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang