07

40 5 0
                                    

Orion berbalik badan menuju mobil tatkala melihat Stevy telah turun dari rumah dengan kondisi telah siap. Bahkan gadis itu juga sudah ikut membawa barang-barang kuliah dan jualannya. Beserta apa saja yang dibutuhkan saat di KUA nanti.

“Ribet banget sih Lu!” komentarnya saat Stevy sudah berada di belakangnya. Sedang Stevy tidak ingin ambil peduli sama sekali. Dia hendak membuka pintu mobil kabin belakang. Namun Orion mencegahnya “Duduk depan Lu. Emang gue supir?!”

“Tapi—”

“Eh, Anna! Keluar Lu!” ujar Orion ketika Anna—sang sepupu membuka jendela pintu mobil kabin depan. “Lu duduk di belakang!”

Bukannya menanggapi ucapan Orion, Anna malah melirik pada Stevy dengan kening berkerut dalam. “Kayak pernah lihat. Dimana, ya?”

“Banyak bacot Lo! Keluar sana!” Orion mengusir dengan kasar, membuat Stevy sama sekali tidak suka, hingga dengan cepat membuka pintu kabin belakang dan duduk di sana. “Hei! Kenapa malah Lo yang duduk di situ?!”

“Aku enggak mau duduk dekat-dekat sama kamu. Kita belum mahram.”

“Lo—”

“Aku duduk di belakang atau aku enggak ikut sama sekali,” sela Stevy dengan tegas membuat Orion dan juga Anna di sana melongo. “Pilihannya ada di tangan kamu.”

“Sialan Lo!” umpat Orion, emosi jiwa dan raga. Dia melangkah dengan cepat mengitari setengah mobil bagian depan masuk di samping kemudi dan menutup pintu mobil dengan suara sangat kasar kala sudah duduk di tempat ia menyetir. “Lo udah makin pinter ngancam, ya. Awas aja Lo!”

Stevy menatap Orion sejenak sebelum akhirnya dia memalingkan pandangannya. Dia bahkan belum berniat untuk menyapa Anna yang juga nampak cukup ia kenal sebelum ini. Penampilan Anna sama persis dengan saat gadis itu sebelum masuk dan ikut pesantren kilat dulu di tempatnya. Atau lebih tepatnya, Anna nampak seperti saat pertama kali mereka bertemu.

“Heh Lo!” panggil Orion pada Stevy yang sama sekali tidak gadis itu hiraukan. Anna yang ada di sana sejak tadi mengulum senyum. Merasa lucu dengan sikap Orion yang untuk pertama kalinya benar-benar diabaikan perempuan. “Woe! Lo budek atau apa?! Gue panggil Lo nih!”

Stevy menoleh pada Orion dengan ekspresi menahan sesak. Dia juga mengurut dada-nya di balik hijab untuk menenangkan hatinya. Orion keterlaluan sekali.

“Nama aku bukan hei atau woe. Tapi Stevy, Orion. Tolong ingat itu. Jadi kalau kamu mau—”

“Enggak usah ceramah!” pangkas Orion kesal. Seraya mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi secara tiba-tiba. Hampir membuat Stevy terjungkal ke depan. “Lo bukan pihak yang boleh ceramah di sini! Ini bukan pesantren tapi mobil Gue, paham enggak lo?!”

Tidak ada tanggapan yang Stevy berikan. Dia sakit hati dengan cara Orion memperlakukan dirinya. Terlebih di hadapan Anna. Membuatnya berpikir ulang untuk menikah dengan pria itu. Namun jika dia tidak melakukannya, maka sudah jelas, sang ayah akan selalu menjadi target Orion. Terlebih ayahnya yang memang belum benar-benar terlepas dari alkohol dan judi itu meski dia adalah pria dan ayah yang baik.

“Hei! Paham enggak?!”

“… Iya.”

“Lemas banget sih Lo! Bukan baru layanin beberapa cowok, kan?”

Mata Stevy membulat sempurna. Dia menatap tajam pada Orion seraya hendak membuka pintu mobil bahkan dalam posisi kendaraan yang masih berjalan.

“He-hei! Lo mau ngapain?!” Dengan cepat Orion menggerakan tangannya dan mengunci pintu agar Stevy tidak membukanya seperti barusan lagi. Kemudian menghentikkan laju mobilnya lalu menoleh tajam pada Stevy. “Lo gila ya?! Mau mati, hah?!” sentaknya, sangat emosi.

Anna yang ada di sana hanya bisa diam dan menyandarkan punggungnya. Dia bahkan menggunakan earphone agar tidak mendengar perdebatan kedua orang itu. Lebih tepatnya, Anna malas ikut campur dengan urusan Orion. Dan lebih memilih untuk sibuk dengan dirinya sendiri. Lagipula dia mau ikut dengan Orion hanya karena pria itu mengimi-imingi dirinya tiket liburan gratis di luar negeri.

Stevy masih belum menjawab. Dia menahan diri tapi matanya sama sekali tidak bisa bohong. Dia menatap tajam pria yang sedang memarahinya saat ini dengan netra memanas dan memerah. Sungguh, dia ingin berpikir ulang mengenai rencana pernikahan ini. Belum juga menikah, namun dia sudah kena mental oleh Orion. Pria itu sama sekali tidak bisa menyaring mulutnya.

“KENAPA LO ENGGAK JAWAB?!”

“Apa yang mau kamu dengar?” tutur Stevy membuka suara dengan berusaha sekuat tenaga menekan nada bicaranya yang mulai bergetar itu. Dia seperti tidak memiliki harga diri sebagai seorang perempuan yang sudah menjaga kehormatannya selama ini. “Apa aku harus mengiyakan sesuatu yang bahkan belum pernah aku lakukan?”

“Baguslah.” Dengan santainya Orion kembali berbalik badan. Dan mulai melajukan mobilnya. Tanpa peduli dengan perasaan Stevy yang sudah dia injak-injak harga dirinya. “Gue enggak mau nikah sama cewek yang udah enggak perawan.”

Stevy membungkam mulutnya. Dia memalingkan pandangan dari Orion dan menghapus secepat mungkin air mata yang tanpa sadar terjatuh dari pelupuk matanya. Dia ingin menyerah dan sebaiknya meminta tolong saja pada ayah sahabatnya. Tapi dia juga sama sekali tidak bisa jika harus membebaninya. Apalagi, dua hari terakhir ini, dia sama sekali tidak saling berkomunikasi dengan sahabat-sahabatnya itu. Bahkan Ziva—salah satu sahabatnya yang ada di sini belum dia temui sama sekali.

Sekilas Orion menangkap kesenduan di wajah Stevy. Tapi dia sama sekali tidak ingin ambil peduli. Yang penting dirinya bisa menikahi gadis itu dan memiliki tubuhnya. Dengan demikian, dia bisa memiliki apapun yang dia inginkan atas tawaran yang Dicky berikan.

Tidak ada lagi pembicaraan dan keributan yang terjadi di dalam mobil itu. Semua terasa hening. Hingga tidak lama setelahnya, mereka telah tiba di kampus Stevy. Tanpa menunggu mobil itu belum benar-benar berhenti, Stevy sudah lebih turun dari mobil tanpa berpamitan sedikitpun. Karena Anna juga nampak tidak terlalu memedulikannya.

“Hei! Setelah itu langsung balik!” teriak Orion mengiringi kepergian Stevy yang melangkah cepat memasuki Fakultas tanpa berbalik badan sedikitpun. Hanya menoleh sedikit tanpa mengatakan sepatah katapun. “Buruan! Kalau enggak, Gue seret Lo dari kelas!” sambungnya, mengancam sampai Stevy menghilang dari sana.

Beberapa mahasiswa yang melihat kejadian itu lumayan dibuat heboh. Mereka tidak menyangka jika Stevy bisa turun dari mobil seorang pria yang dikenal dengan ketampanannya. Lelaki sama yang juga kuliah di Universitas sebelah. Dan terkenal tidak pernah takut dengan dosen sedikitpun. Bahkan ditantang olehnya.

“Lo yakin mau nikahin dia?” celetuk Anna setelah Orion kembali ke posisi semula dan duduk dengan tenang sembari menghisap nikotin di tangannya “Dia temannya Amani, kan?”

“Hm.” Orion hanya menggumam. Tanpa ingin berbicara lebih. “Gue enggak peduli.”

“Terserah Lo juga sih. Tapi kalau sampai mereka tahu Lo mainin dia. Maka bukan tidak mungkin jika Lo benar-benar akan menghilang dari muka bumi ini,” kata Anna seperti nada mengancam membuat Orion terdiam seribu bahasa.

Tarbiyah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang