"Tidak Lisa, itu tidak benar. Aku perlu membayarmu, jadi aku punya ide." Sejenak, aku mengalihkan pandangan ke Kafe di belakangku dan Lisa menatapku dengan rasa ingin tahu. "Apa kamu suka kopi?"
Aku menampilkan senyuman lucu di wajahku dan dia menatapku dengan alis terangkat.
"Apa kamu kebetulan mengajakku berkencan?"
***
Aku menatap Lisa dengan mata melebar dan aku merasakan wajahku seketika memanas. Aku tidak ingin terdengar sejelas itu, meskipun jauh di lubuk hatiku, aku ingin ini menjadi kencan pertama untuk kami.
"Yak, Lisa! B-Bukan seperti itu." aku menjawabnya dengan malu sambil menundukkan kepala untuk menghindari tatapan main-mainnya padaku.
"Tapi, apakah akan aneh bagimu jika itu terjadi?" Kali ini suaraku terdengar lebih pelan.Lisa terdiam selama beberapa detik yang terasa lama dan menyakitkan bagiku.
Sepertinya aku telah mengatakan sesuatu yang salah. Sekarang dia pasti akan menganggapmu penguntit gila dan dia mungkin tidak ingin melihat wajahmu lagi.
Tetapi untungnya, detik-detik itu tidak berlangsung lebih lama lagi.
"Tidak, Jennie." Lisa tertawa
"Itu sama sekali tidak aneh."Aku mengedipkan mataku berulang kali untuk mencoba memproses apa yang baru saja Lisa katakan kepadaku.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" Aku berdiri sambil memandang wajahnya yang bingung.
"Ayo masuk. Disini dingin."Lisa mengalihkan pandangannya antara aku dan kedai kopi dengan ekspresi yang tampak masih tidak percaya.
"A-apa aku benar-benar boleh masuk ke sana? A-apa itu tidak masalah?" Lisa tampak malu dan ragu.
"Bukankah kafenya sudah tutup?""Tidak akan ada masalah apapun Lisa... Selama kita tidak membuat kekacauan dan aku akan membayarnya nanti, semuanya akan baik-baik saja. Aku berteman dengan pemiliknya dan aku yakin dia tidak akan mempermasalahkan itu." aku meyakinkan Lisa yang masih terlihat ragu-ragu.
"Lisa, apa kamu masih ragu padaku? Ayo, bangun sekarang... percayalah padaku karena jika aku mengatakan semuanya baik-baik saja, itu berarti semuanya memang akan baik-baik saja!"
Sebelum bangun, Lisa menghela nafas dalam-dalam lalu dia melepaskan selimutnya dan berdiri di depanku. Dia masih terlihat sangat malu dan ragu, aku jadi merasa tidak enak.
Aku harus membuat dia merasa nyaman.
Kemudian kami berjalan menuju kafe yang jaraknya hanya beberapa langkah, ketika kami memasuki kafe, aku membimbingnya ke salah satu meja dan kami berdua tertawa saat kami melakukannya.
Kami satu-satunya yang ada disana karena tempatnya memang sudah tutup, tapi itu yang membuat suasana menjadi terasa nyaman.
Lisa duduk di salah satu kursi dengan hati-hati, seolah-olah dia takut melakukan kesalahan dan aku hanya bisa tertawa saat melihat betapa lucunya dia.
Aku berdiri di depan meja.
"Apa yang ingin kamu pesan, Nona Manoban?" Aku bertanya dengan formalitas dan dia menertawakan postur tubuhku yang sedikit membungkuk.
"Aku tidak tahu... kamu saja yang memilihkan pesanannya untukku." Lisa mengangkat bahu dan aku mendengus.
"Kamu bisa memilih sendiri, Lisa-ssie Pilih saja apa yang ingin kamu makan." aku meyakinkannya tetapi dia tetap diam.
"Aish... baiklah, tunggu disini sebentar."Aku meninggalkan Lisa sendirian di sana untuk pergi ke belakang meja kasir, menyiapkan dua espresso di salah satu mesin pembuat kopi.
Dalam beberapa detik, aroma menyenangkan segera menyebar di udara.
"Ternyata di dalam terlihat lebih besar ruangannya." Lisa berkomentar dan aku mengangguk dengan tenang.
"Aku suka bekerja disini karena kopi adalah salah satu hal favoritku di dunia, dan aku juga senang bisa bertemu dengan teman-temanku yang terkadang cukup menyebalkan."
Tapi, jika bukan karena mereka, aku mungkin tidak akan berani berbicara denganmu Lisa.
To be continue ~~~
Lagi suka-sukanya sama sesuatu yang sederhana, tapi bermakna 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
HOMELESS (GXG)
General FictionJennie adalah pelayan di kedai kopi Cafe de Flore, dia menyukai Lisa yang merupakan seorang Tunawisma yang hidupnya di pinggir jalan dengan selimut tua, gitar dan suara terindah yang pernah Jennie dengar.