.
.
.
.
"Dalam perjalanan."
Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Aamon segera mematikan panggilan secara sepihak. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal dan mulai memelankan mobilnya ketika sudah memasuki daerah yang cukup ramai.
Ini hari minggu sudah menjadi hal lumrah jika para pelajar bahkan pekerja yang sedang menikmati hari liburnya, tak jarang anak anak kecil berkeliaran disekitaran jalan yang Ia lewati. Aamon melirik jam dipergelangan tangannya, sudah pukul 9.15 pagi.
Aamon sudah meninggalkan kediamannya sejak 15 menit yang lalu. Ia tak berpamitan ataupun memberi pesan kemana Ia akan pergi, baik kepada Gusion maupun para pelayannya.
Setelah Aamon sampai ditempat yang Ia tuju, Ia segera memarkirkan mobilnya. Aamon disambut hangat oleh para pelayan dan Benedetta yang sudah menunggu nya di depan gerbang sejak panggilan dimatikan.
Benedetta tersenyum ramah menatap kehadiran Aamon, "Selamat pagi Aamon." sapa nya.
Aamon tersenyum dan sedikit membungkukan tubuhnya, "Selamat pagi Benedetta." balasnya.
Setelah mendapatkan izin dari sang tuan rumah Aamon pun segera mengekori Benedetta memasuki ruang tamu, "Duduklah. Apa kau ingin kopi?"
Aamon mengistirahatkan tubuhnya di atas sofa lalu mengangguk. Setelah mendapatkan jawabannya Benedetta segera menyuruh seorang pelayan untuk menyiapkan kopi untuk Aamon.
Kepergian pelayan itu meninggalkan kesunyian, tak ada obrolan apapun yang dimulai, baik Aamon maupun Benedetta keduanya enggan memulai pembicaraan. Setelah beberapa menit berlalu barulah Benedetta memberikan topik pembicaraan, "Kau kemarin ke restoran ku bukan? Apa kau puas dengan makanannya?" tanya Benedetta.
Aamon menoleh dan menghela nafasnya panjang lalu menggeleng pelan, "Aku tidak makan."
Benedetta, "Apa? Lalu?"
Aamon, "Hal ini yang ingin aku bicarakan."
Benedetta mengerutkan kening nya dengan ekspresi bingung, "Hal apa?" tanyanya.
"Permisi master, ini kopinya." sela pelayan.
Aamon, "Terimakasih."
Sebelum Aamon mengutarakan niatnya, Lunox sang ibu datang menghampiri keduanya, "Ada perlu apa nak Aamon?"
Aamon membenarkan cara duduknya lalu memberikam salam, "Aku rasa ibu tau maksud kehadiranku."
Diantara ketiganya hanya Benedetta yang terlihat kebingungan. Sepertinya hanya dia yang tidak mengerti arah pembicaraan, "Maaf aku menyela. Ada apa ini?"
Aamon menoleh kearah Lunox terlebih dahulu sebelum akhirnya menoleh ke arah Benedetta seraya menghela nafas panjang, "Saat aku berada di restoran mu Floryn menghampiri teman temanku. Dia bilang kami akan segera bertunangan." jelas Aamon.
Benedetta terkejut bukan main. Ia masih tidak bisa mencerna perkataan Aamon lalu bergantian menatap ibunya, "Ibu, pertunangan.. Pertunangan apa ini?"
"Ya... Aku dan Valentina berencana untuk menjodohkan Aamon dan Floryn." bela Lunox.
"Apa? Menjodohkan?" tanya Benedetta tak percaya, "Ibu, kau seharusnya menanyakan pendapatku lebih awal."
Lunox, "Maafkan aku Benedetta. Perjodohan ini sudah kami rencanakan saat kalian masih anak-anak."
Aamon menatap Lunox penuh harap, "Apa ini tidak bisa dibatalkan saja?"
Lunox menggeleng dengan putus asa, "Asalkan ada persetujuan dari Valentina, mungkin bisa?", ujarnya tak yakin.
Aamon menghela nafas gusar lalu memejamkan matanya selama beberapa saat, "Jadi ini bergantung pada ibuku?". Pertanyaannya dibalas anggukan kecil oleh Lunox.
Lunox memperhatikan Aamon selama beberapa saat, ia menyadari bahwa Aamon terlihat cukup terbebani dengan masalah perjodohan ini. Tapi apa yang kurang dari anaknya? Floryn cantik, dia gadis yang periang, pintar dan berbakat. "Apa Floryn tidak menarik dimatamu, Aamon?" tanya Lunox dengan hati hati.
Aamon menggeleng pelan seraya tersenyum kecil, "Aku akui dia cantik, aku yakin banyak pria yang lebih baik dariku mengaguminya. Tapi aku tidak bisa bersamanya."
Lunox, "Kenapa?"
Aamon mendongak, menatap Benedetta dan Lunox secara bergantian lalu tersenyum simpul, "Ada orang yang aku cintai, aku ingin berjuang untuknya," Aamon menjeda perkataannya selama beberapa detik, " setidaknya untuk sekali seumur hidupku."
• • ━━━━━━ ⛧ ━━━━━━ • •
Natan tersentak kaget ketika pintu rumahnya diketuk. Dengan gerakan cepat Ia beranjak dari tidurnya untuk mencari tau siapa yang bertamu sepagi ini.Ayolah bung, ini pukul 9 pagi
Terlalu pagi untuk Natan. Pagi. Sangat pagi.
Setelah membukakan pintu rumahnya Natan pun mematung seperkian detik. Ia menatap wajah yang tak dikenalinya di ambang pintu, dengan wajah bingung nya Ia bertanya, "Maaf, siapa?"
"Kau Natan?"
Pemuda itu diam dengan sorotan mata yang menyelidiki. Darimana dia tau?
Natan, "Kau.. Siapa?" tanya nya dengan hati hati. Wajar saja Natan was was, wanita tak dikenal ini mengetahui namanya, dan parahnya Ia tau alamatnya bung. Ya Tuhan.
Wanita berumur kisaran 40 tahun itu menatap Natan tanpa eskpresi, "Aku tidak punya banyak waktu," celutuk nya. "Apa kau bersedia berbicara denganku, hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit." imbuhnya.
Natan mengangguk ragu. Walaupun Ia curiga bukan berarti Ia tidak menunjukkan sopan santun. Natan mempersilahkan wanita itu masuk namun di tolak mentah mentah.
"Aku Valentina, ibu kandung Aamon. Aku hanya ingin kau menjauhi Aamon karena dia akan aku jodohkan dengan Floryn. Sebagai gantinya aku akan memberikan apapun yang kau butuhkan. Bagaimana?" tawar Valentina.
Natan terkejut, tentu. Otaknya terlalu lama untuk mencerna— Ah bukan, maksud ku terlalu bingung dengan maksud perkataan Valentina.
Natan menatap Valentina dengan tatapan yang jelas tak mengerti. Wanita itupun memutar bola matanya jengah. Ia menatap Natan dengan tatapan tak suka, "Aku bilang jauhi Aamon, apa kau mengerti maksudku?"
Natan menarik nafas dalam, Ia sudah mengerti apa yang diinginkan Valentina namun terlepas dari itu, untuk apa Valentina repot repot menegurnya. "Maafkan aku. Tapi aku dan Aamon hanya sekedar rekan."
Valentina menggeleng sembari terkekeh pelan. Matanya berhadapan dengan Natan secara sengit, bahkan Natan merasa wajahnya seperti di tusuk jarum. "Tidak ada yang menatap rekannya seperti itu, Natan."
Natan merapatkan bibirnya selama beberapa detik. Ia meremas bajunya karena gugup, setelah itu Natan pun menjawab, "Itu tidak seperti yang kau pikirkan."
Wanita yang masih beediri didepannya ini penuh dengan intimidasi. Hal itu membuat Natan gugup dan sedikit takut, terutama hal ini bersangkutan dengan Aamon.
Valentina gemas bukan main. "Aku bukan orang bodoh, maaf saja tuan Natan." sarkas nya.
Natan yang tak kunjung menjawab membuat Valentina semakin kesal, "Aku tidak perduli apa yang akan terjadi padamu." celetuknya.
"Aku akan sangat berterimakasih setelah kau menjauhi Aamon jika tidak," Valentina menjeda perkataannya. "Aku akan mendatangimu lagi dan memberikan pelajaran yang berarti, Natan." ancamnya.
Setelah mengatakan hal itu Valentina segera pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arah Natan yang masih mematung di tempatnya. Natan menatap kepergian Valentina hingga kerangka mobil itu tak terlihat lagi dimatanya. Jantungnya terasa seperti merosot beberapa cm dari tempatnya. Natan sangat mengerti, baik keadaannya maupun Aamon. Namun Ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Natan menginginkan Aamon. Ia mencintainya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] VESPERTINE
FantasyNatan bertekad untuk tidak membuka hati lagi setelah hubungannya dengan sang kekasih berakhir. Bagai pisau yang tertancap ribuan kali di tempat yang sama Natan harus menerima kenyataan bahwa kekasihnya -, Ah, maksudku masa lalunya lebih memilih oran...