"Tapi Abin tuh anaknya—menurut gue ya, nggak enak kalo dipacarin. Maksudnya ... karena anaknya asik aja sih, jadi lebih nyaman kalo temenan."
Kata-kata itu Caka dapatkan saat pulang sekolah bareng Januar di kelas delapan, kurang lebih empat tahun lalu. Mereka bukan sengaja membahas Abin, bukan Caka juga yang mencuri-curi obrolan agar mengarah pada gadis itu. Mereka hanya mengobrol soal futsal kemarin sore lalu Januar tiba-tiba nyeletuk begitu saat teringat Abin ikutan nonton futsal untuk pertama kalinya karena diajak Echa.
"Tapi nggak tahu juga sih," tambah Januar. "Sotoy sih gue."
"Sorry, tapi Abin tuh yatim piatu?" Caka bertanya selagi Januar membahas Abin. Setahunya, Abin tinggal bersama neneknya berdua saja.
"Nggak." Januar tertawa. "Dia tuh ngerantau versi low budget. Katanya sih karena ibunya agak strict soal pendidikan, terus di kotanya sendiri nggak dapet sekolah negeri yang bagus, makanya Abin nyoba-nyoba daftar di SMP ibunya sini, eh keterima. Ya udah." Januar menjelaskan. "Jadi di sini tinggal bareng neneknya doang, dia pulang ke rumah paling seminggu sekali, nggak mesti sih."
Caka pertama kali lihat Abin sewaktu gadis itu hampir telat masuk sekolah.
Awal-awal semester satu kelas delapan. Januar dan dia sedang sarapan soto di kantin saat Abin tergopoh kelaparan duduk di depannya, berbicara singkat melapor dia hampir keserempet motor, tidak sedetikpun terusik dengan sosok asing yang tengah bersama teman laki-lakinya. Caka juga biasa saja menanggapi itu, sama-sama tidak peduli dan sibuk dengan sarapannya sendiri. Caka dan Abin tergambar sebagai karakter tanpa rupa di masing-masing kepala. Mungkin jika ditanya sekarang, keduanya masih ingat sekedar peristiwanya, tidak dengan siapa saja yang ada di sana.
Caka datang sebagai anak pindahan. Dia hanya mengenal anak kelasnya dan Januar yang rumahnya satu komplek. Karena beberapa kali ke kelas Januar, dia dan Abin tanpa sengaja suka berpapasan.
"Ja, Risa di kelas nggak?"
Suatu hari, Abin pernah menyerobot obrolan asyik beberapa anak di ambang pintu kelas Caka. Bertanya pada salah satu di antaranya, teman sekelas dia di kelas tujuh.
Sosok yang dipanggil mendongak karena posisi dia dan teman-temannya yang ngemper. "Nggak." Dia menggeleng. "Gimana?"
"Nanti kalo anaknya udah di kelas, tolong bilangin ya ntar sore jadi voli, makasih!" Lalu Abin pergi setelahnya.
Di depan lelaki yang Abin ajak bicara, Caka bersender pada daun pintu, menatap kepergian gadis itu. Mulai menyadari rambutnya yang terus berganti gaya tiap kebetulan bertemu.
Pernah juga, suatu ketika, di kantin, ramai luar biasa.
Abin yang mencoba meraih gunting yang agak jauh dari jangkauan—mendongak, jari tangannya terdiam di udara. "Abis lo deh." Dia mempersilahkan Caka memakai gunting duluan setelah tahu lelaki itu juga tengah mencoba meraih benda yang sama untuk memotong jajan rentengan yang sulit dipotel.
"Lo dulu aja." Tapi dia balik mempersilahkan Abin.
"Nggak, nggak. Kan lo tadi duluan." Abin tidak enak.
"Nggak apa-apa. Lo dulu." Bisingnya kantin lantas membuat lelaki itu meraih gunting menurut. "Oke, sekalian deh, lo mau apa?" tawarnya tanpa menoleh.
Caka melenggang selepas Abin berterima kasih. Dalam hati menilai rambut Abin yang entah kenapa hari itu tidak digaya seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanduk Kecil di Atas Kepala Kita
Teen FictionAbin kena kutukan. Tapi hingga kini, tak jua obatnya ditemukan. Lalu saat dia bertanya dengan siapa saja yang dianggap kawan, mereka justru tanpa rasa menertawakan dan menganggap dirinya hanya berlebihan. Saat bertanya pada lawan, mereka terbahak ke...