22. Anak Baik

118 25 5
                                    



Anak baik.

Anak baik itu yang seperti apa? Apakah yang setiap hari selalu membantu orang tua melakukan pekerjaan rumah? Apakah yang setiap hari menjadi si kecil penurut dan tidak pernah membantah? Apakah yang bisa membanggakan orang di sekelilingnya karena sebuah pencapaian? Apakah yang selalu berbuat kebaikan tak peduli balasan orang?

Makin bertambah usia, makna 'baik' jadi begitu sulit dijabarkan.

Rasanya ada yang salah ketika Caka menyebut Abin dengan sebutan itu.

Tapi ada yang lebih salah lagi. Ketika Abin baru saja membuka pagar rumah dan Ama yang tahu-tahu membunyikan klakson menyuruhnya minggir dari arah dalam.

Tidak sempat menyambutnya dengan pertanyaan "Kok balik sekarang?" karena setelah kaki Abin bergeser memberi jalan, Ama menjalankan motornya pergi melewatinya tanpa pamit. Hari Selasa. Agak aneh Ama pulang di hari kerja. Kecuali jam kuliahnya bergeser dan membuatnya bebas pulang.

Abin tidak ambil pusing. Memasuki halaman rumah dan menutup pagar setelahnya.

Ama si pemarah. Sudah tabiatnya.

Hingga Abin masuk rumah dan dapat jawaban.

"Orang itu dikritik harusnya seneng. Ngerti apa yang kurang dari kerjaannya." Ayah mengomel sendiri. Abin sempurna menutup mulut, urung salam. Malas. Langkah Ayah yang berbalik dari membuang makanan di belakang terhenti karena melihat Abin pulang-pulang seperti hantu. "Udah balik, Bin? Ayah baru mau ke toko."

"Sepi banget abis ujan, kayaknya udah nggak ada lagi yang mau beli. Udah jam segini juga." Abin membalas tanpa berniat menoleh. Tangannya sudah turun mengambil sepatu, meletakkannya di rak sepatu paling atas sebelum berlalu.

Terlalu malam. Abin yakin kalaupun Ayah jadi ke toko, tidak akan ada yang datang untuk beli. Lagi pula kemana saja jam segini baru mengabari Abin? Caka juga tidak bisa terus menemaninya di sana.

"Aku bareng kamu aja deh, nggak apa-apa?" usul Abin bimbang dengan keputusan sendiri pada awalnya. Membalas celetukan Caka sebab mengajaknya pulang bareng sekalian.

"Bebas. Kalo mau sekalian ya ayo. Tapi emang Ayah nggak masalah tokonya tutup sekarang?"

Abin masih duduk di tempatnya berpikir. Tapi Caka yang sudah meraih kunci motor menyentaknya untuk segera mengambil keputusan.

"Ikut kamu aja deh."

Harusnya Abin terima saja tawaran Caka untuk pakai jalan memutar. Biar sampai rumahnya agak ntaran. Tidak papasan dengan Ayah atau Ama yang baru usai berperang. Dari omelan Ayah, Abin bisa ambil kesimpulan, gara-gara masakan. Entah mana yang menyulut duluan, gadis itu terlalu capek untuk menerka.

Abin sangat ingin mengumpulkan Ayah, Mama, dan Ama di satu tempat kemudian menyuruh mereka menyeleseikan masalah mereka. Abin? Oh, dia jadi penonton saja. Dari dulu juga begitu. Nanti kalau ada yang adu lempar gelas, Abin juga kena. Mau marah? Ikut berkomentar? Ikut berpendapat? Menyerah saja, tidak akan ada yang mau dengar.

Bibirnya mengerucut serius. Alisnya menyatu. Dia melirik ponsel di samping tubuh.

Perasaan Abin yang kesal seketika membuncah mengingatnya.

"Ya ntar kalo aku nggak kabarin kamu agak lama, telepon aja ya?" Kalimat tersebut Caka lontarkan pada Abin setelah dia bilang hati-hati di jalan, setelah Caka menurunkannya di tempat biasa. Karena Abin rutin menyuruhnya lapor setelah sampai rumah, Caka memotong lebih dulu dan mengutarakan idenya.

Abin termenung sebentar sebelum menyahut, "Modus ya biar aku telepon?"

Sudut bibir Caka naik. Giginya terlihat. "Modus asal sama cewek sendiri nggak masalah nggak sih?"

Tanduk Kecil di Atas Kepala KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang