18. Hubungan Tak Terbaca Antara Caka, Abin, dan juga Para Kucing

126 26 4
                                    



Kesan pertama Abin saat bertemu dengan Caka ialah; anaknya songong, terus mukanya nyebelin.

Sebetulnya Abin belum pernah benar-benar berinteraksi saat itu, dia hanya tahu jika Caka adalah tetangga Januar yang baru pindah ke sekolah mereka. Itu pun setelah dia dengar Echa kepo kenapa jarang lihat, tahunya memang anak baru.

Abin tidak bagaimana-bagaimana juga, hanya ... kalau dia bertemu dengan Caka dia akan memilih untuk sedikit berinteraksi saja.

Tapi, tidak bisa.

Karena di mana ada Januar, di situ ada Caka.

Mereka selanjutnya mau tak mau bicara singkat karena tuntutan sosial, Caka yang sering ke kelasnya mencari Januar dan ada Abin di dekat pintu. Begitu terus, sampai suatu ketika Caka tengah asyik bercanda dan menubruk punggungnya yang sedang minum sehabis jam olahraga di pelataran kelas. Minumannya tumpah ke seragam dengan gelak tawa teman kelasnya yang muncul tepat setelah Abin dan Caka terbengong duluan selama satu detik menatap satu sama lain.

"Sorry, sumpah. Gue ganti."

Caka mengatakannya dengan cengengesan—itu kali pertama Abin melihat wajahnya ramah tidak menyebalkan. Namun, karena keadaannya mengundang gelak tawa, wajah Caka tetap menyebalkan dengan sisa tawa yang entah ditujukan padanya atau pada Januar yang tadi sibuk bercanda bersamanya.

"Nggak usah."

Jelas, Abin menolak. Itu air minum yang dibawa dari rumah, kalau diganti malah Abin yang tak enak hati. Boleh jadi karena takut mengundang perhatian yang lebih-lebih kalau mereka berdebat, Caka memutuskan untuk memaksa memberi uangnya pada Januar sebelum beringsut mundur menjauh dan berujar, "Duitnya di Januar ya, ntar tagih aja."

Padahal cuman air minum, berkurangnya juga tidak banyak.

Lalu Abin mulai berpikir, Caka mungkin tidak seburuk yang ia kira.

Jadi dia memutuskan untuk mulai berteman—atau setidaknya berinteraksi sewajarnya seperti yang lain. Menyapa sesekali juga memasang wajah ramah kalau tak sengaja bertemu. Maka, di hari di mana dia bingung harus memberikan pada siapa buah yang ia beli, dia bertemu Caka dan membuatnya terlihat bingung karena menawarkan buah itu begitu saja secara gratis. Yang Abin juga tidak mengerti kenapa dia terus menunggu Caka setelah selesai membeli buah satuan tersebut pada kesempatan lain.

"Mau tisu." Lelaki yang tengah dibicarakan baru saja datang membawa satu jagung bakar dan dua botol air mineral. Dia mencabut satu tisu dari balik tas Abin yang tergeletak di antara keduanya. "Beneran nggak mau jagung?" Caka menurunkan kepala, menatapnya rendah. "Apa mau satu berdua?"

Abin otomatis bergidik seraya menggeleng.

Caka tertawa, tahu betul respon Abin akan begitu. Air minumnya segera tertenggak cepat. Sisa kejar-kejaran tadi masih berasa panas meski Caka telah menitipkan jaketnya pada pangkuan Abin.

Melewati waktu yang bagai seabad tadi sore (re: menunggu dan mengikuti Mama saat akhirnya beranjak bersama si Aspal), Caka awalnya hampir menyerah karena rute mereka menuju pinggiran kota. Tapi sebelum itu terjadi, mobil hitam itu berhenti di salah satu resto pinggir jalan. Sepertinya mahal, jadi Caka tidak berani masuk.

Hal tersebut menguatkan pendapat Caka soal Mama. Mereka pergi terlalu jauh dan mustahil kembali ke kantor di saat langit hampir gelap. Beli barang kantor apanya? Mereka bahkan selanjutnya malah makan malam berdua.

Caka berinisiatif memarkirkan motornya agak jauh dari lokasi, menyuruh Abin berjaga di sana sementara dia akan masuk ke lokasi parkiran dan mengempeskan ban mobilnya karena Caka ngotot harus melakukan sesuatu atau dia akan menyesal dan Abin mengizinkan.

Tanduk Kecil di Atas Kepala KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang