15. ******

159 32 9
                                    



Pekan ujian tengah semester.

Hari pertama Abin dibuat kecewa karena hari ini dia tidak lagi sebangku dengan Shera seperti biasa. Sekolahnya menerapkan kelas yang sama selama tiga tahun berturut-turut dan nampaknya mereka sama sekali tak menyadari seseorang telah menderita karenanya. Jika sudah begini, Abin akan berandai-andai bila kehidupan sekolahnya mungkin akan baik-baik saja kalau dia masuk IPA seperti yang diharapkan Mama, atau kalau dari awal dia menolak daftar sekolah ini demi membangkang Mama.

"Geser."

Abin mendongak ketika dia baru saja selesai mengeja nama rekan sebangkunya di ujung meja; Bagas. Iya, nama Bagas hanya satu kata. Lelaki itu meletakkan tasnya di kursi yang tadi sempat tertutup kehadiran Abin sebelum berlalu keluar kelas begitu saja.

Abin dan Bagas beberapa kali seberangan meja, tapi dia tak tahu jika menjadi sebangku rasanya aneh sekali. Selain Shera, Abin juga pernah sebangku dengan Chika (saat itu bangku ujian ditata dengan acak tanpa urut absen). Kalau Abin coba lihat modelnya, urutan bangku kali ini tetap urut absen tapi selang-seling, satu dari absen depan, satu dari absen belakang, menyisakan bangku tunggal bagi absen tengah.

Kalau boleh bilang, posisi bangkunya posisi terbaik untuk menyontek. Bangku pojok belakang. Mana Abin sebelahan dengan orang pintar pula—tapi bercanda, Abin malas ambil resiko.

Abin sudah meletakkan pantat di kursi ujung dekat tembok, dia dapat kursi nyaman untuk senderan. Dan bagusnya kalau nanti dia mengantuk, dia tidak perlu risau akan menengadahkan wajah ke arah mana saat tidur di atas meja.

Ini kali pertama Abin duduk bersama laki-laki di SMA, selain karena di hari biasa dia dapat jatah duduk sendirian, di masa-masa ujian begini, urutan bangku cenderung sama tiap tahun.

Sebuah pesan muncul saat Abin membuka ponselnya di depan laci.

Makasii abeeeen hehe nanti pulang sekolah jadi ketemu kan?

Sudah seminggu berlalu semenjak Abin minta putus. Tapi rasanya tetap malu luar biasa jika dia harus berhadapan lagi dengan Caka. Meski Caka yang minta sampai mengoceh bilang dia berani ke rumah Abin untuk menjemput. Kalau dia berani, Abin yang ketar-ketir. Akan dihantam dengan apa nanti kalau Caka betulan datang ke rumah?

Entah ketempelan apa karena selanjutnya Abin berani mengetik balasan 'iya' sebagai kesanggupan. Semalam juga, akhirnya dengan berat hati Abin membalas pesan Caka setelah puluhan panggilan yang sengaja dia abaikan berhari-hari. Abin tidak enak hati. Salah tidak sih? Abin baru sekali ada di suatu hubungan seperti ini. Kadang dia bingung, apa hal-hal seperti marahan lalu baikan yang terjadi berulang kali adalah hal wajar. Apakah sistemnya kadang memang seperti pertemanan saja—tapi bukankah dari awal Abin menerima Caka hanya karena butuh teman?

Abin tidak sempat melihat balasannya sudah dibaca atau belum karena tidak lama setelahnya, anak kelas bergerombol masuk diikuti guru penjaga ujian. Bel sudah berbunyi, waktunya Abin ujian.

***

"Caka, bangun. Udah lima belas menit."

Abin mengikuti kebiasaan Caka pada rambut lelaki itu, menempatkan kelima jarinya berdiri di atas rambut sebelum menggerakkannya pelan seperti sedang menjumput makanan. Keduanya ada di atas karpet ruang tamu rumah Caka dengan pemilik rumah yang berbaring tengkurap beralaskan bantal sofa di sisi tubuh Abin.

Rumah Caka menjadi tujuan untuk pertemuan pertama paska pertengkaran permintaan putus. Abin menurut, malas berdebat. Toh, ini pekan ujian, kalau main di luar bisa kebablasan.

Setelah lewat jam dua belas siang, Caka mengeluh mengantuk. Dia menarik bantal asal dari atas sofa dan menempatkan diri begitu saja di sampingnya serta merta menyuruh Abin membangunkannya nanti setelah sudah lima belas menit.

Tanduk Kecil di Atas Kepala KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang