13. Peredam Emosi

131 36 1
                                    



"Yaelah, naksir lama belum kelar."

Januar menyambut panggilan Caka dengan tawa mengejek. Tidak tahu saja hubungan Caka dan Abin kini sudah lebih dari teman. Tapi, tidak usah dijelaskan.

"Gini, boy. Masalahnya sekarang gue jarang kontakan sama dia. Jadi, lo telat banget sih."

Caka menghembuskan napas panjang, kini menidurkan diri di atas kasur. "Masa udah nggak pernah chat sih?" ragunya sembari mengusap wajah. "Kayak sekedar ngobrol apa kek, lu berdua suka ngobrol nggak penting, 'kan?"

"Aduh, iya sih. Tapi kan dulu." Ada jeda beberapa detik yang memperdengarkan suara korek dari sambungan Januar, lelaki itu sempat bilang sedang ingin merokok di awal panggilan. "Terakhir kita kontakan tuh ... kelas sepuluh, Ka. Udah lama banget."

Caka mengulum bibir, menatap kosong langit-langit kamar yang sudah remang karena lampu tidur. Abin pernah bilang jika dia tidak begitu akrab dengan teman SMA, kemungkinan besar dia juga tak akan menceritakan masalahnya pada mereka, satu-satunya harapan adalah teman dekatnya semasa SMP. Harusnya menelepon Januar bisa dapat sedikit pencerahan. Namun, kalau kenyataannya begini, Caka bisa berharap apa.

"Eh, nggak sih. Kita pernah ketemu waktu acara reuni kelas sebelas, abis lebaran. Dia lagi di rumah neneknya jadi bisa ikutan." Januar tiba-tiba bersuara lagi. "Tapi pas itu kita nggak banyak ngobrol, malah gue baru tahu dia dateng pas udahan." Dia melanjutkan setelah berdecak kecil, mengingat. "Dia tuh sekarang dieman, Ka. Makanya gue juga sampai nggak sadar dia dateng."

"Pas kelas sepuluh, chat terakhir lo apa?"

"Lupa. Sebenernya dia itu pernah ngajakin gue ketemumain aja sih, beberapa kali. Cuman guenya sibuk OSIS mulu jadi nggak bisa. Mana dia kalo ngajakin tuh nggak jelas tujuannya apa, jadi gue bingung juga kan soalnya ada yang lebih penting dibanding main. Apalagi sekarang udah beda kota, susah dong?" jelas Januar. "Emang lo nggak pernah gitu tiba-tiba ketemu di jalan?" tanya Januar lalu terkekeh. "Kan udah sekota, siapa tahu jodoh."

Caka tidak tahu bagaimana seharusnya dia merespon celetukan barusan. Sudah berlangsung lama semenjak Caka melancarkan misi pendekatan pada Abin dengan sengaja tidak memberitahu siapapun bahkan Januar sekalipun. Hal itu dia lakukan untuk menjaga martabat diri. Mulut Januar terlalu berbahaya kalau tahu Caka betulan ingin serius dengan Abin, dia bisa saja bicara jelek-jelek atau sejenisnya pada Abin mengenai dirinya, atau yang parah membuatnya malu seperti yang sudah-sudah dengan menggodanya di depan umum.

Januar paham sekali cara membuatnya kesal.

"Lagian kenapa deh tiba-tiba banget nanyain Abin?"

"Nggak apa-apa." Caka mengubah posisi jadi tengkurap, membiarkan dagunya tertanam bantal. "Gue khawatir aja, nggak ngerti kenapa."

Lalu yang terdengar dari ponsel Caka adalah Januar yang terbatuk, sepertinya dia tersedak asap rokoknya sendiri. "Apaan sih, Ka? cerita dong!" Sepertinya Januar berniat tertawa tapi malah tersedak. "Lo mau ngejar Abin beneran?"

"Kata lo, dia anaknya nggak asik dipacarin?"

"Yah ... pas gue ngomong gitu tuh sebenernya gue lagi naksir Abin."

"Anjing?"

Januar tertawa puas. "Bercanda, respon lu memuaskan banget." Lelaki itu tidak tahu saja, Caka bahkan spontan terduduk karena pengakuannya. "Tapi kalo boleh jujur sih, pas kelas tujuh emang gue sempet naksir. Cuman, nggak tahu, ya. Kayak udah jalannya aja kita temenan, seiring waktu ya udah perasaannya ilang sendiri." Januar mau tak mau mengutarakan rahasianya untuk pertama kali. "Lo nih yang pertama tahu soal itu. Tapi karena udah lama juga sih jadi nggak pa-pa. Toh, sekarang gue dah biasa aja." Caka hampir membalas dengan Januar lebih dulu menyambung. "Tapi kan gue ngomong yang itu awal-awal doang, Ka. Abisnya gue kayak ... ya udah terlihat jadi supporter nomer satu kaliansoalnya mau kayak gimana juga kalian deketnya bukan kayak temen seperti yang selalu lo bilang," ungkap Januar. Paham betul kalau sudah menggoda atau menjodoh-jodohkan Caka dengan Abin, Caka akan berkilah dengan alasan 'teman' jadi tidak seharusnya Januar melakukan itu padanya. "Ya pokoknya, mau gimanapun, hubungan lo sama Abin waktu itu udah beda kalo dibandingin sama gue. Belum sampai taraf 'lebih dari temen' juga, cuman ya ... beda aja. Duh, masa kayak gini harus gue jelasin?" Januar masih betah mengoceh. "Lo sih denial. Kalo Abin nggak ngerti ya, dia kalo gue godain tuh suka nggak ketebak, soalnya lebih sering nggak gubris haha ngeselin emang."

Tanduk Kecil di Atas Kepala KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang