warning long chapter! take a seat, vote, and enjoy!
Saat kemping kelas sebelas, Uci kedapatan memakai pita hitam. Panitia memberikan keringanan pada siswa yang memiliki riwayat penyakit dengan memberikan pita warna sesuai tingkatan, pita merah untuk penyakit sedang dan pita hitam untuk penyakit berat.
Mungkin yang dimaksud penyakit berat itu adalah penyakit jiwa. Sebab nuraninya seperti tidak ada.
Namun, yang menarik—bukankah itu artinya dia akan lebih mudah untuk mati?
Omong-omong, bangku Abin telah kembali, baru hari ini. Dia kembali menempati meja paling belakang yang sebelumnya disabotase Miko dan Bagas. Rasa jijiknya yang luar biasa jadi amunisi tersendiri untuk tahan banting tatkala Miko menyeret tasnya agar pindah tempat. Abin tidak mau dan hanya bergeming saat lelaki itu memakinya. Dia tutup telinga sampai Miko capek sendiri dan memilih berhenti.
"Mungkin pengen disogoknya dari depan." Miko membisikkan kalimat tak mengenakan itu pada Bagas, tepat setelah dia menyerah. Abin masih bisa dengar. Dan Bagas menimpali candaan itu dengan memberikan telapak tangan pada Miko mengajak tos.
Sungguh menjijikkan.
Gadis itu menelan ludah susah payah. Menguatkan diri sendiri untuk bertahan sampai jam pulang sekolah.
Tapi pada tengah-tengah jam istirahat, Bagas menemuinya. Abin menepi seperti biasa. Kalau kelasnya ramai, Abin akan keluar. Kalau sepi, Abin akan menetap. Lelaki itu datang dari arah luar dengan langkah lebar, menuju meja Abin langsung. Hanya ada Abin dan Piyur di kelas saat peristiwa itu terjadi. Abin sibuk mencatat catatan yang belum usai, Piyur sibuk menelungkupkan kepala untuk tidur.
"Lo bilang apaan ke Bu Dina?" Bagas menahan tangannya di atas meja Abin. Sekilas dia menoleh pada Piyur yang bangkunya ada di barisan tengah pojok, agak jauh dari mereka. "Lo cerita apa?"
Yang pertama Abin lakukan adalah menggeser tangannya agar tidak bersentuhan dengan tangan Bagas. Lalu tanpa mencoba mendongak melihat penanya barusan, Abin membalas cepat, berharap lelaki itu segera menghilang dari penglihatan.
"Lo ngalangin gue nyatet."
"Makanya jawab gue dulu." Wajah Bagas sudah di depan mata ketika Abin mendongakkan kepala di kali selanjutnya. Dia terkejut dan Bagas menjadi lebih dekat dengan menyeret kursi kosong di bangku sebelah Abin dan duduk di sebelahnya, membawa tangannya yang mula ditahan di atas meja kini dialihkan ke atas dudukan kursi, ke sisi kosong di samping Abin mendudukkan diri, hampir mengenai sisi luar pahanya.
Abin praktis berdiri, menjauh. "Apaan sih?"
Mimik muka Bagas berubah mendapat respon itu. Matanya menyisir Abin dari atas ke bawah. Tatapannya berubah remeh. "Waktu itu sadar ya?" Lelaki itu datang karena ingin memastikan. Bu Dina menanyakan padanya perihal teman kelas yang paling dekat dengan Abin secara tiba-tiba. Dia juga sadar guru BK itu beberapa kali terlihat mengakrabkan diri dengan gadis ini tanpa dia ketahui alasannya. Bagas curiga Abin melaporkan sesuatu. "Sadar, Bin?" tanyanya ulang. Lelaki itu tak perlu menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksud karena kilatan mata Abin kini terlihat marah. "Kalo sadar, kenapa diem aja?" Alisnya terangkat. "Suka?"
Tenggorokan Abin tercekat.
Tanpa sadar keduanya dapat kepastian. Bagas tahu pasti jika Abin ternyata sempat tersadar. Abin tahu pasti jika sentuhan itu bukan terkaannya semata.
"Hadueh!" Piyur menguap kencang dari depan. Melemaskan tubuh kemudian berbalik, terdiam menemukan Bagas dan Abin yang entah sedang membicarakan apa. Tapi bukankah hampir semua orang tidak sudi bicara dengannya? "Gas! Abis ini jadi ada geografi nggak sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanduk Kecil di Atas Kepala Kita
JugendliteraturAbin kena kutukan. Tapi hingga kini, tak jua obatnya ditemukan. Lalu saat dia bertanya dengan siapa saja yang dianggap kawan, mereka justru tanpa rasa menertawakan dan menganggap dirinya hanya berlebihan. Saat bertanya pada lawan, mereka terbahak ke...