Mulanya, Caka bukan tipe yang ambisius di bidang akademik.
Dia tidak bodoh, tidak juga pintar si paling pintar. Dia murid yang biasa saja.
Baru setelah ditawari ikut lomba karena salah satu nilai mata pelajarannya jadi yang tertinggi di angkatan, dia ketagihan. Ternyata ikut lomba dengan nama sekolah itu menyenangkan, bisa bolos kelas, bonus dapat snack kardusan. Kalau ada PR juga jadi gampang, tinggal lihat teman karena saat dia kembali masuk, pasti sudah dicocokkan. Belum lagi kalo ada jam tambahan khusus untuk kompetisi tertentu, rasanya jadi ikut private gratisan.
Di kelas sebelas, ketika dia bahkan berhasil lolos OSN tingkat kota, Caka malah kalah dalam lomba antar SMA buatan HIMA di salah satu universitas swasta. Dia kesal, tapi sedihnya lebih dominan.
Beberapa hari setelahnya, dia bertemu Abin. Caka mengajaknya ke angkringan yang menyediakan lesehan berupa tikar di trotoar pinggir jalan. Di tengah-tengah memesan, Abin tiba-tiba nyeletuk nyaris berbisik, "Ih ada catur!" sembari menunjuk rendah papan catur yang diselipkan di antara pasak atap angkringan yang tidak begitu tinggi.
Caka ikut melihat permainan itu sekejap sebelum menoleh pada Abin. "Kamu mau main?"
Abin mengangguk kecil antusias.
"Kamu bisa mainnya emang?" Caka bertanya sesampainya mereka dapat tempat di salah satu lesehan. Dia membawa catur itu setelah dapat ijin.
"Bisa."
"Kok nggak pernah cerita?"
"Ngapain?" Abin memasang para bidak. "Masa tahu-tahu kayak ... aku bisa catur loh?"
Setelah semua buah catur telah disusun, Caka menyuruh Abin main duluan karena dia dapat putih.
"Eh, tapi, aku sebenernya nggak jago main sih," kata Abin menahan tangannya di udara. Dia mendongak menatap Caka dan lelaki itu menatapnya balik. "Nggak penting emang. Cuman pengen bilang aja."
"Tapi kamu kayak antusias banget?" Selepas rambut Abin yang tak pernah lagi digaya, juga Abin yang tidak lagi menggeluti voli, Caka tidak tahu lagi apa yang mungkin gadis itu sukai. Terus tanpa angin dan hujan—catur, menarik perhatian Abin sampai matanya berbinar.
"... iya ya?" Abin memainkan bibir sebelum bergumam panjang. "Aku suka aja?"
"Suka tapi nggak jago?"
Abin mengangguk. "Sebenernya pas main catur, aku lebih suka energinya," lanjut Abin. "Kayak gimana aku sok pusing padahal aku sendiri juga tahu kemampuanku biasa banget dan bisa kalah kapan aja. Aku beneran cuman ngerti cara jalan masing-masing gitu, kalo main ya sukanya tanpa strategi." Abin berdecak. "Tapi itu yang bikin seru, kan? Nggak peduli bakal kalah atau menang karena yang lebih menarik adalah bagaimana permainan itu 'bermain'."
Caka terdiam. Serasa diberi wejangan.
Namun ketika Abin akhirnya betulan memulai permainan, lelaki itu mengernyit. "Kamu yakin mainnya nggak pake strategi?" Karena Abin memulai dengan kuda.
"Emang kalo nggak punya strategi harus mulai dari pion?"
Mata Caka memicing. "Oke, kita liat nggak jagonya kamu itu gimana." Caka sama-sama mengeluarkan kuda.
Abin mencebikkan bibir. "Ih jangan gitu ah, serem. Nanti baru bentar aku udah kalah."
Caka menahan senyum. "Apa sih kan baru mulai?"
Gadis itu menghela napas kasar. "Ya, ya." Lalu memajukan pion.
"Kamu bisa main dari kapan, Bin?"
"SD."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanduk Kecil di Atas Kepala Kita
Teen FictionAbin kena kutukan. Tapi hingga kini, tak jua obatnya ditemukan. Lalu saat dia bertanya dengan siapa saja yang dianggap kawan, mereka justru tanpa rasa menertawakan dan menganggap dirinya hanya berlebihan. Saat bertanya pada lawan, mereka terbahak ke...