Gpp ayo, nanti juga ngantuknya ilang sendiri.
Balasan terakhir Caka akhirnya meruntuhkan pendirian Abin. Entah bagaimana, malam ini, tujuh belas hari setelah kejadian, Abin ingin bercerita. Sebelumnya dia sempat menyinggungnya di toko Ayah, tapi sebetulnya hanya basa-basi, Abin sadar mengatakannya meski tidak serius ingin.
Kekhawatiran sempat membuatnya menyesal, terlanjur mengirim pesan berisi permintaan izin untuk menelepon malam-malam. Abin takut ini bukan masalah besar. Takut ini hanya ulah prasangkanya yang tak mempan lagi berpikiran positif terhadap orang-orang.
"Gimana, Bin?"
Suara Caka memecah hening langsung setelah panggilan diterima.
"Kamu beneran nggak pa-pa? Kalau emang dah ngantuk, tidur aja. Ceritanya ditunda besok." Abin mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja belajar. Bertanya sekali lagi. Caka bilang hari ini kelelahan, banyak kegiatan, bahkan mengaku agak ngantuk walau masih jam delapan saat Abin mengiriminya pesan. "Ntar kalo ceritaku bosenin, kesannya malah lagi dongengin kamu lagi."
Caka tertawa kecil di balik sambungan. "Nggak. Aku dengerin, serius."
Abin ragu. "Beneran? Aku kasih kesempatan nih buat nyerah."
"Bener—aku usahain."
"Nggak mau," Abin merajuk. "Kalo emang kamunya udah setengah sadar, ya nggak usah."
Gantian Caka yang memaksakan diri. "Masih sadar banget ini, Bin. Santai aja lagian, kayak sama siapa aja. Ayo!"
Santai? Abin sekarang tremor.
"Kenapa? Gimana sama UTS-nya kemarin?" pancing Caka lebih dulu. Abin sempat membeberkan tema kisahnya kali ini bersamaan dengan pesan izin mau menelepon. "Remed? Atau lembar jawaban kamu ilang?"
Ketukan jari Abin berubah jadi tekanan. Kulitnya menegang. Lantas perlahan berubah jadi genggaman. "Bukan ujian secara teknisnya sih," balasnya. Genggamannya mengendur dalam sekejap. "Tapi, ini sebenernya juga—mungkin nggak penting."
"Hus." Caka memotong. "Cerita dulu, opini kamu nanti aja."
"Ya ... aku mau ngasih disclaimer?"
Helaan napas samar terdengar. "Nggak usah."
Sayangnya, pada menit-menit selanjutnya, Abin justru tergugu. Ceritanya jelek. Dia memulainya dengan basa-basi. Bagaimana hari itu dimulai, hampir ketinggalan angkot, ujiannya yang jauh berbeda dari kisi-kisi, hingga kekagetannya soal bangku ujian yang tidak ditata seperti biasa. Tapi dia merasa tutur katanya buruk ketika diutarakan. Entah kenapa terdengar membosankan. Loncat-loncat. Tanpa inti. Tanpa arah.
"Pusing nggak sih? Kok cerita aku nggak jelas ya?" Abin mengeluh, bibir bawahnya maju. Ceritanya terpotong di tengah jalan. "Kamu bosen nggak?"
"Lanjutin dulu aja, pelan-pelan."
Abin menarik kakinya ke atas kursi. Punggungnya bersender, lututnya ditekuk di depan dada sebelum dia meneruskan.
Matanya panas. Pelan-pelan seperti yang Caka pinta, dia mencoba mengurutkan peristiwa sederhana di hari itu. Jantungnya memompa lebih cepat. Lidahnya kelu. Ada rasa tak nyaman yang mendadak menyerang.
Sampai sebelum klimaks, saat bawah bibirnya dia gigit penuh gerogi, ketika jeda-jeda mulai berdurasi lebih lama. Abin menghela napas pelan. "Aku ngerasa," ujarnya kembali berhenti. Dia menghembuskan napas lebih banyak kini. Menahan diri. "Aku ngerasa kalo temen bangku aku nyentuh aku," kembali berhenti. Satu, karena Abin mulai meneteskan air mata. Dua, karena tidak ada tanggapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanduk Kecil di Atas Kepala Kita
Novela JuvenilAbin kena kutukan. Tapi hingga kini, tak jua obatnya ditemukan. Lalu saat dia bertanya dengan siapa saja yang dianggap kawan, mereka justru tanpa rasa menertawakan dan menganggap dirinya hanya berlebihan. Saat bertanya pada lawan, mereka terbahak ke...