29. Hukum Tak Sebanding antara Kepercayaan dan Kenyataan

108 24 1
                                    



Putih. Tidak yakin pasti tapi sepertinya benar ini warnanya putih.

Dia berdiri, tidak yakin juga, tapi sepertinya benar berdiri.

Tatapannya berpendar, beralih dari satu sisi ke sisi lain. Ada beberapa baris manusia, tanpa rupa meski sedikit samar dia dapat membedakan mana pria mana wanita. Atau tidak, dia ternyata kebingungan. Baris-baris itu tak rapi, mencong sana mencong sini, tapi terlihat tidak begitu menganggu karena ternyata orang-orang itu tidak sebanyak yang dia kira.

Dia masih terdiam di tempatnya berdiri.

Matanya kemudian menemukan sebuah pintu berbentuk abstrak dengan ujung tak terlihat, dan daripada pintu, itu lebih mirip seperti black hole. Tidak ada yang memberitahunya, tapi dia tahu, siapapun yang masuk ke dalamnya akan hilang—atau katakanlah: mati. Itu adalah ibarat kematian dengan cara paling halus, jadi ketika seseorang masuk dalam barisan dan memutuskan untuk terjun ke dalamnya, dia akan mati—dia akan hilang, tanpa rasa sakit.

Di sana, mati adalah hal yang biasa saja, bukan hal penting yang perlu dipikirkan matang-matang. Sederhana sekali, jika ingin mati, maju. Jika tidak, tetap diam atau pergi.

Tiba-tiba, orang-orang berkurang tanpa dia sadari.

Dia hampir maju, karena tepat sekali tinggal dua antrian.

Tapi kemudian, dia berpikir ulang dan membayangkan, bagaimana rasanya hilang? Jiwanya hilang? Tubuhnya hilang? Semuanya hilang. Itu terlalu asing, kosong, dan menyakitkan di saat bersamaan.

Aku bakal hilang.

Semua soal aku bakal hilang.

Dan aku nggak bakal tahu hari-hari setelah ini.

Aku nggak bakal tahu soal jawaban dari hal-hal yang pernah aku pertanyakan.

Maka, dia tetap diam ketika antriannya tinggal satu orang.

Dia memilih menunggu.

Semuanya memang sungguh menyakitkan. Tapi dia tidak ingin hilang—tidak untuk sekarang.

Maka, tidak lama setelah itu, sentakan yang begitu lembut dia rasakan.

Dia terbangun.

Dan seketika menangis.

"Abin!"

"Ma! Abin bangun, Ma!"

Samar-samar, suara orang rumah terdengar. Cahaya yang teramat asing pelan-pelan ditangkap oleh indra penglihatan.

Lalu sesuatu yang sulit dijelaskan meraung, tapi sedikit-sedikit dia mencoba paham.

Aku tidak ingin berpisah dengan diriku sendiri.

Aku menyukainya, dan dia mungkin juga menyukaiku sama besarnya.

Aku merasa, kita masih sedikit melakukan hal baik bersama-sama, jadi, kurasa aku harus menahan diri untuk menyakitinya—meski di mimpi itu, rasa mati tidak akan sakit sama sekali.

"Bin, bisa denger Mama?"

Tangisannya tak mampu berhenti.

Pelan-pelan, adegan-adegan tak mengenakan ditayangkan ulang dengan resolusi seadanya.

Dia belum mati.

***

Kamar Abin dipindahkan.

Kondisinya sempat drop pasca operasi. Belum juga tersadar setelah tiga hari.

Sebelumnya, Mama menangis sepanjang waktu. Ayah lebih sering berdiam diri di tempat ibadah. Ama menangis sekali tapi selanjutnya hanya berdiri lesu menemani Mama.

Tanduk Kecil di Atas Kepala KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang