Mati.
"Abin jahat."
Kepalanya berat. Dia terhuyung masuk ke kamar mandi, jongkok di depan toilet. Mual luar biasa melanda seperti biasa, pukulan pada kepalanya terlalu banyak.
Mati.
Gadis itu terengah, berpegangan pada dinding kamar mandi yang dingin. Pandangannya kabur karena air mata.
Abin terisak.
Sakit. Tubuhnya sakit. Hatinya lebih. Dia harus berpura-pura untuk tidak lagi berpura-pura. Tidak ada lagi yang tersisa selain rasa malu tak karuan dan harga diri yang jatuh berantakan. Tidak ada alasan lagi yang dapat membuatnya pantas dipertahankan.
Mereka selesai. Tapi seharusnya dari awal juga tak perlu dimulai.
Lancang sekali mencintai orang lain padahal mencintai diri sendiri saja dia kesulitan.
"Abin jahat." Gadis itu menarik-narik rambutnya. "Abin jahat." Kalimatnya terus diulang.
Anak baik? Lelucon.
Penyesalan menghantam. Pertanyaan 'kenapa' dan sanggahan 'seharusnya' berputar di kepala bagai kaset rusak. Dari awal, Abin tidak perlu melibatkan siapapun dalam hidupnya yang sedang kacau. Tapi hati kecilnya meronta manja, dia tidak ingin seseorang yang peduli padanya pergi, di satu waktu dia juga takut menjalin hubungan lebih dari teman sebab tidak yakin dengan perasaannya sendiri.
Lalu ketika hal-hal kecil mulai memberikan konfirmasi, dia kewalahan. Perasaan bersalah menyeruak, menolak dan melarang Abin habis-habisan. Dia tidak boleh begini, juga tidak boleh begitu. Dia tidak berhak atas perasaannya sendiri.
Abin kembali terisak. Punggungnya jatuh ke belakang, bersandar pada dinding kamar mandi. Masih ada sisa mual tapi tidak ada yang bisa keluar kecuali air, Abin belum makan—belum jadi makan dan gadis itu terkekeh mengingat roti isi cokelatnya yang tadi terlempar, tidak sempat diselamatkan karena Caka keburu datang. Dan juga kacang sukro yang masih ada di dalam tas. Padahal Abin senyum-senyum saat membelinya, berharap Caka senang dan memberikan senyum yang dia suka sebagai imbalan.
Tapi kejauhan. Imajinasinya terlalu tinggi.
Belum satu jam, kondisinya berubah, memburuk. Sangat buruk karena Abin bahkan tidak perlu berpikir dua kali untuk menyelesaikan semuanya.
Lututnya ditekuk lantas dia peluk. Perih menjalar tatkala punggung tangannya ia gunakan untuk menepis hidung yang berair. Abin menghela napas, mencoba menetralkan dada yang naik turun. Matanya menatap sangsi punggung tangan kiri yang gambarannya sudah dia tambah. Merah, masih basah, dia dapatkan di angkot saat perjalanan pulang ke rumah.
Dia menyedihkan.
Kembali melihat punggung tangan kirinya, Abin memejam, menciumnya—lama, sengaja agar rembesan air mata mengenai bagian yang luka. Lalu dia memeluknya.
Abin hanya punya Abin sekarang.
***
Pukul sepuluh malam ketika Abin terbangun.
Kepalanya luar biasa pening dengan perut kelaparan. Lampu kamar yang menyala tepat di atas kepala membuat matanya sensitif. Hawa kamarnya entah kenapa jadi tidak nyaman. Abin seperti sedang demam.
Di tengah-tengah penyesuaian diri dengan keadaan kamar yang suram, gadis itu meraih ponsel, dengan tak sempurna bersender pada dinding yang menempel dengan sisi ranjang. Dia berdecak. Mengutuk diri sendiri mengecek notifikasi. Apa yang dia harapkan? Caka minta maaf—bahkan meski itu bukan kesalahannya sama sekali? Atau dia berharap Caka akan minta bertemu untuk membahasnya baik-baik? Tapi bukankah semuanya sudah dia umbar? Lelaki itu akan sangat bodoh bila masih melakukan hal-hal yang Abin harapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanduk Kecil di Atas Kepala Kita
Novela JuvenilAbin kena kutukan. Tapi hingga kini, tak jua obatnya ditemukan. Lalu saat dia bertanya dengan siapa saja yang dianggap kawan, mereka justru tanpa rasa menertawakan dan menganggap dirinya hanya berlebihan. Saat bertanya pada lawan, mereka terbahak ke...