5. Cinta dan Tata Cara Mengungkapkannya

239 54 14
                                    



Abin hampir mati.

Tapi lebay sih, katakan saja dia hampir terserempet motor saat akan menyeberang jalan. Kepalanya yang masih pening ditambah jalanan yang lumayan sepi membuatnya jadi maju tanpa mengecek ulang keadaan saat akan menyeberang. Padahal tidak apa-apa kalau dia terserempet, sampai tertabrak juga agaknya tidak begitu buruk. Dia justru akan senang karena punya alasan untuk tidak ke sekolah.

"Ngapain sih?"

Dan seketika kejadian ini jadi drama ketika Caka tiba-tiba muncul menarik lengannya. Seperti potongan adegan pacar yang ngambek dan berusaha pergi namun tersusul di pinggiran jalan.

"Kamu kok di sini?"

Caka melepas tangannya dari Abin. "Kamu sendiri?"

"Ditanya kok balik nanya?"

Lelaki itu menghela napas sebentar. "Lagi ngerjain tugas kelompok sama anak-anak," jawabnya menunjuk kafe tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kamu dari tadi belum pulang?" tanya Caka kini menyisir penampilan Abin yang pakai seragam baju putih tapi dengan bawahan celana olahraga.

"Ini baru mau pulang."

"Kok lewat sini?" Caka mengernyit bingung. Jalan ini bukan jalan ke rumah Abin. Kalau dia lewat sini, perlu putar balik lebih dulu.

"Mau beli stiker," lugas Abin menunjuk toko stiker di seberang jalan. "Tapi ternyata tutup."

"Dari sekolah jalan kaki?"

Abin diam sebentar mencari jawaban aman. "Tadi naik ojek bentar sih."

"Ke sini doang naik ojek?"

Senyum Abin yang hampir terbit jadi sirna. Jarak tempat ini dari sekolah memang tidak terlalu jauh tapi juga tidak terlalu dekat. Jalan kaki pasti capek, naik ojek juga sayang uang. Abin ingin sekali bisa naik motor, tapi Mama bilang belajarnya nanti saja kalau sudah bisa beli motor baru. Dipikir-pikir tidak salah juga, kalau pun sekarang dia sudah mahir, mau pakai motor punya siapa ke sekolah. Semua motor kan dipakai.

"Kenapa nggak telepon aku aja minta anter?"

"Ya ... aku kan nggak tahu kalo kamu belum pulang?"

"Ya makanya telepon, Abin." Lelaki itu menekankan kalimatnya. "Kamu abis ngapain sih?" oceh Caka sembari mendorong beberapa helai rambut Abin yang sebelumnya terurai di depan bahu ke belakang bahu dengan dua jari tangannya. Abin membiarkan itu dan Caka lanjut bertanya, kini dengan punggung tangan yang sudah maju ke depan dahi. "Kamu sakit?"

"Enggak." Abin memotong cepat menghindar, gadis itu sedikit menjauhkan tubuh tapi dibuat sedemikian rupa agar tidak sengaja termundur. "Maaf ya, Ka. Soal berapa hari ini yang aku nggak bisa terus diajak ketemu." Dia bergumam panjang sebelum menyambungnya lagi. "Agak ... gimana ya?"

"Kamu nggak suka?"

"Aku nggak nyaman." Abin membalasnya tanpa jeda. Dia sangat kesulitan menjelaskan apa yang sekarang tengah terjadi dalam benaknya. Bagaimana sebenarnya rasa ini untuk Caka, apakah ia mulai menyukainya atau sebenarnya hanya merasa bersalah saja. Bagaimana hari-hari yang ia lalui jadi makin berat tiap hari, seimbang dengan bebannya memilih diam yang menghantui. "Aku tuh," bibirnya mengatup kembali. Apakah orang-orang bisa mengerti hanya dengan menjelaskannya? Ini terlalu aneh sampai Abin pikir mungkin orang lain perlu jadi dirinya dahulu sebelum mencoba memahami. "Aku—"

"Apa?"

Abin mendongak kecil, membalas tatapan Caka. "Maaf banget." Dan lagi, dan lagi. "Aku nggak bermaksud ngomong buruk." Abin sialan. "Jangan tersinggung ya, maksudnya ... mungkin karena sebelumnya kamu—" Padahal Abin tidak perlu menjelaskan lebih jauh karena akan sangat aneh untuk didengar.

Tanduk Kecil di Atas Kepala KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang