Prolog

968 107 54
                                    



Hidup itu mematikan.

Ada yang pernah bilang padanya bahwa ini sesederhana bagaimana masing-masing manusia dan dunia menjalin suatu hubungan. Apakah kita yang mengendalikan atau dikendalikan.

Tapi hingga kini, Abin tetap tidak mengerti bagaimana cara mainnya.

Dan daripada itu, dia memang lebih sibuk bertanya siapa yang salah dan kenapa hal-hal tidak menyenangkan bisa terjadi di saat dia jadi anak baik-baik di kehidupan sebelumnya. Tidak pernah melanggar aturan, rajin belajar, berteman dengan siapa saja, dan amat menyayangi keluarga. Jadi, kenapa dia tiba-tiba dapat kutukan padahal tidak satupun melanggar norma kehidupan? Bahkan saat dia tahu ada yang lebih berhak dapat hidup menyedihkan karena beberapa alasan tapi nyatanya justru dapat kehidupan nyaman tanpa kekurangan.

"Pakai pulpen punya siapa lo?"

Tepat waktu. Abin baru saja naik panggung.

Gadis itu tidak pernah percaya bila adegan sinetron yang biasa ditontonnya saat kecil betulan ada dan nyata—sampai dia mengalaminya sendiri, seperti sekarang. Adegan klise, dimana protagonis yang lemah tak berdaya hanya bisa diam tak banyak kata saat berhadapan dengan penentang tokoh utama.

"Heh! Lo pakai pulpen siapa?"

Pertanyaan itu kembali dilambungkan dengan logat dan gestur tubuh karakter jahat sinema. Persis. Berkacak pinggang, dagu diangkat, alis menyatu, serta cibiran bibir maju.

"Punya lo?" Abin menjawab pelan dalam hiruk pikuk ramainya anak kelas berlalu lalang mengumpulkan kertas ulangan ke meja guru di depan. Tapi Abin yang duduk di kursi sembarang dan orang yang barusan bertanya sewot berdiri di hadapan, membuat posisi keduanya semakin cocok untuk memerankan pihak berkuasa dan dikuasai.

"Emang udah bilang ke gue?"

"Tadi kan udah bilang. Lagian—"

"Emang gue udah bilang iya?"

Abin diam.

Padahal ini hanya perkara pulpen. Menggoreskan sedikit tinta untuk namanya di ujung kertas yang dia lupa cantumkan tidak akan membuat pulpen ini langsung habis, 'kan? Atau parahnya membuat tintanya berubah warna? Jadi kenapa berlebihan?

"Dasar nggak sopan. Lain kali bilang dulu lah, dikira pulpen punya eyang lo apa?"

Setelahnya, gadis pemilik pulpen itu pergi sembari merampas pulpennya dengan kasar. Bergabung dengan teman-temannya yang sudah beranjak keluar kelas bersiap ke kantin. Menyisakan Abin yang tak mampu membalas lagi.

Tidak salah, sih. Dilihat-lihat, peran ini memang agak cocok untuk Abin.

Ngomong-ngomong, yang tadi namanya Shera. Percaya tidak percaya, saat kelas sepuluh, Abin dan Shera kerap dikira teman SMP saking akrabnya. Efek absen atas bawah, awal-awal MPLS keduanya sering pergi kemana-mana berdua. Baik Abin maupun Shera tidak keberatan jika dikira begitu meski nyatanya baru kenal.

Tapi lihat sendiri apa yang baru saja terjadi.

Lagi-lagi Abin tidak pernah percaya hal sejahat itu betulan ada di dunia nyata. Tidak percaya lagi karena dia jadi salah satu tokoh di dalamnya. Lebih tidak percaya—lagi, karena bahkan sampai detik ini, Abin tidak tahu kesalahan apa yang dia buat sampai orang-orang sebegitu benci padanya.

Abin baru akan berbalik menuju bangkunya di barisan belakang saat seseorang menabrak bahunya, yang selanjutnya tidak bilang apapun seakan Abin memang pantas mendapatkan itu. Apakah anak-anak kelasnya belum makan selama seminggu hingga begitu terburu ke kantin bahkan saat bel istirahat belum ada semenit lalu berbunyi? Atau orang-orang ini memang sedang berlomba memenangkan nominasi pemeran pembantu terbaik—atau peran utama, tergantung dari sudut pandang mana kisah ini ditonton.

"Shabrina?"

Gadis itu menoleh ke depan kelas. "Iya, Bu. Sebentar."

Sebetulnya Abin ingin memberi usul kepada wali kelasnya untuk meninggalkan tumpukan kertas ulangan anak-anak di meja guru, lalu dia akan menawarkan diri mengantarkannya ke kantor setelah selesai. Tapi tentu itu akan ditolak. Abin mungkin saja akan mengganti jawabannya dengan jawaban anak ranking satu karena nilainya yang sangat mungkin di bawah KKM.

Selain dibenci tanpa alasan, Abin sekarang juga jadi bodoh—atau tolol? Abin tidak tahu mana yang lebih buruk. Karena entah sejak kapan remedial menjadi obat yang harus rutin diminum.

Abin sudah beranjak ke bangkunya saat menyadari kini dia tinggal sendiri sedang ditunggui guru. Meraih pulpen di ujung laci dan mulai menyelesaikan namanya yang baru tertulis setengah. Dengan mata Abin yang kemudian menurun sayu menatap dua namanya setelah sempurna terpampang di pojok kertas sesuai arahan.

Senyum tipisnya lantas mengembang.

Mati aja, Bin.


Tanduk Kecil di Atas Kepala KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang