31. Seni Meromantisisasi Hal yang Sekiranya Tidak Berguna

262 21 8
                                    



Mati.

Lalu suara berisik kereta api yang melintas menginterupsi.

Jejeng-jejeng-jejeng-jejeng.

Irama roda tiap gerbong bergemerisik.

Bukan. Abin tidak berniat bunuh diri—meski dia hidup seperti orang mati. Kerjaannya hanya tidur dan makan—itu pun kalau ingat. Dia juga mulai melupakan nama-nama hari. Persis seperti yang terjadi sebelum dia membabat habis Uci, Abin kini sering kali kesusahan membedakan mana mimpi mana realita. Entah realitas yang terbawa mimpi atau sebaliknya. Neneknya sering kali menegur saking lamanya Abin tidur, takut dia sakit kepala, padahal kepalanya jelas akan lebih sakit saat terbangun.

Sudah tiga bulan Abin mengungsi. Atau bahasa baiknya: Abin ingin keluar rumah sementara waktu sampai batas yang tidak ditentukan. Dia ingin menghilang dan menghindari orang-orang yang mungkin dia kenal. Abin kembali mengulang masa SMP, tinggal lagi bersama nenek di luar kota. Sebetulnya ini ide Ama, dia mengkhawatirkan banyak hal dan tidak tega membiarkan Abin di rumah sendirian sementara Ayah dan Mama mulai berbenah.

Urusan Ayah dan Mama, Abin tidak tahu. Ama bilang itu urusan mereka, jadi Ama sendiri mengaku akan berhenti mengusik. Tapi Abin sempat curi dengar juga jika kedua orang tuanya mendatangi pengadilan agama.

Gadis itu tidak ingin disekolahkan lagi setelah resmi mengundurkan diri, tidak untuk sekarang. Demi menunjang proses belajarnya, dia dipanggilkan guru untuk belajar di rumah seminggu tiga kali. Mama masih strict urusan akademik di saat-saat begini. Tak lagi membahas bimbingan belajar sepuluh juta, Mama selanjutnya mencoba mengerti dan mengambil guru sesuai kebutuhan.

Kabar menyeramkan soal dirinya tentu saja terdengar sampai telinga kerabat. Terlebih, ketika tantenya yang tinggal sekomplek dengan nenek tahu jika dia ada jadwal konsultasi dengan psikiater.

Tantenya mulai menjaga jarak. Menolak Abin bermain dengan anaknya yang masih seusia Ical. Juga menolaknya mentah-mentah saat Abin menawarkan diri menjaga toko buah tiap kali tak ada yang bisa jaga.

Abin tidak bisa mengelak jika ini adalah reaksi normal. Hal-hal yang dia alami masih sangat tabu. Orang-orang mulai berpikir dia gila, bisa menghunuskan pisau tanpa sebab, bisa melemparkan mainan tumpul pada bayi tanpa alasan. Setiap helaan napas berat yang Abin tangkap dari orang lain, berhasil melukai hatinya.

"Abin! Maaf lama."

Sebagai gantinya, Abin punya teman baru.

"Yuk lewat sini!"

Namanya Tiara. Guru privat Abin.

Lembaga yang dipilih Mama untuk menemaninya belajar sebetulnya sudah menemukan guru lain untuk Abin. Tapi gadis itu minta ganti karena tidak ingin diajar guru laki-laki.

Menyusuri gang kecil dekat rel kereta api, Abin memegangi tas selempangnya membaca satu persatu grafiti.

Abin bilang Tiara teman baru karena dia sendiri yang ingin Abin menganggapnya begitu. Gadis itu tak yakin, tak berniat bertanya tapi mungkin usia Tiara sekitar dua puluh lima tahun ke atas. Dia punya kakak laki-laki yang pernah depresi ditinggal menikah pujaan hati, berkali-kali mencoba bunuh diri, pernah dirawat di rumah sakit jiwa sebelum akhirnya rutin terapi dan mulai membaik setahun kemudian. Tidak heran perempuan itu begitu bersemangat saat bertemu Abin pada pertemuan pertama, berbanding terbalik dengan Abin yang lesu seperti belum makan seminggu. Mama sebelumnya tentu tak lupa menegaskan latar belakang Abin agar pengajarnya mengerti dan lebih hati-hati.

Mereka sudah memasuki kawasan pasar ikan yang Tiara gadangkan saat pinggir-pinggir jalan mulai dipenuhi akuarium-akuarium kaca.

Abin masih sulit berhenti merapalkan kata 'mati' di dalam hati. Dia sesekali menggeleng kecil ketika pertanyaan penting tidak penting, juga kata mati yang jumlahnya tiba-tiba menumpuk tak bisa dihitung memenuhi kepala.

Tanduk Kecil di Atas Kepala KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang