warning long chapter, take ur seat, vote, and enjoy!
Tahu apa yang lebih lucu dari pertengkaran Mama dan Ayah tempo hari? Ketika Mama mengatakan apakah dia harus membahas semua masalah rumah tangga mereka dengan suami orang. Dimana itu adalah ungkapan tersirat sebuah ancaman untuk melakukan perselingkuhan jika Ayah tidak berubah. Meski pada faktanya, Mama sudah melakukannya.
Yaitu ini; Mama yang memaki-maki tukang selingkuh di sinetron televisi.
Terlalu lucu sampai Abin tidak nafsu untuk tertawa.
Bagaimana bisa dia memaki orang yang berperilaku mirip dengannya? Menyebut peran sinetron jahat dan sejenisnya? Lalu selama ini dia apa? Mungkinkah seseorang melakukan hal seperti itu sebagai penyamaran karakter, misal saja bersikap seolah-olah tidak suka pejabat korupsi agar dinilai tidak mendukung korupsi. Seperti Mama, bersikap seolah mengutuk orang selingkuh agar orang berpikir Mama tidak mungkin melakukan hal terkutuk yang dia sendiri benci.
Tapi maaf sekali, Abin tidak bisa ditipu.
"Ganti aja nggak sih, Ma?"
"Bentar," tolak Mama. "Kamu belajarnya udah?"
"Dikit lagi." Abin awalnya memang berniat mampir saja ke depan televisi. Namun kemudian dia lihat cemilan, jadi dia ikut duduk di samping Mama lebih lama dari yang ia perkirakan.
"Ya selesein dulu lah belajarnya." Mama menoleh mengusir.
Sudah dua hari semenjak rencananya mengikuti Mama gagal. Dari awal Abin memang tidak begitu tertarik. Tapi Caka tak henti-hentinya bertanya bagaimana luka di kakinya untuk memastikan mereka dapat melanjutkan niat yang tertunda. Padahal Abin sudah bilang jika lukanya tidak parah dari awal.
"Ma, Abin besok ijin pulang sorean ya—agak maleman deh."
"Mau kemana? Kalo mau main, sekalian abis UTS aja." Mama memberi saran.
"Mau belajar kayak waktu itu," ujar Abin menyebut hari dimana dia pulang sore karena mampir ke rumah Caka. "Boleh, kan?"
"Yah ... yang penting kabarin kalau ada apa-apa. Jangan kayak Kak Ama."
Abin manggut-manggut patuh.
***
Abin sebetulnya rutin membawa baju ganti tiap akan main ke rumah teman saat SMP. Tapi dia merasa agak aneh jika melakukan itu sekarang, tidak ada alasan lain kecuali karena kali ini dia main ke rumah cowok. Maka, sebelum ke rumah Caka, Abin meminta lelaki itu mengantar dan menunggunya sebentar di tempat biasa sembari dia pulang ganti.
"Kayaknya dia nggak bakal klik link-nya deh." Abin berasumsi ketika ada suara langkah mendekat. Lima menit lalu Caka ke kamar dan berniat ganti baju setelah sadar dia sedari tadi masih pakai seragam. Aroma semerbak yang menguar dari arah belakang lantas membuatnya menoleh. "Wangi banget," keluh Abin dengan hidung mengerut.
Caka duduk di samping Abin kembali sebelum dia bergerak miring dan menahan dirinya dengan satu tumpuan tangan di belakang tubuh Abin, kepalanya sedikit merunduk ke bahu gadis yang tertutup jaket denim itu untuk mencium aroma cologne yang dia pakai.
Hanya sekian detik, tapi hal kecil itu sukses membuat Abin tak berkutik. Kepala Abin yang spontan menoleh karena kehadirannya langsung mematung, wajah keduanya yang bersinggungan dan terlalu lekat membuat Abin menahan napas.
"Kamu aja wangi." Caka menarik diri. Dia meraih ponselnya di depan Abin. "Jangan-jangan dia trauma gara-gara kemarin, jadi nggak mau nerima pesan apa panggilan dari sembarang orang." Lelaki itu berdecak. Meski sudah pakai nomor lain dari yang dipakai untuk memastikan tidak salah nomor berapa hari lalu, si Anjing ternyata belum juga membaca pesannya. "Ke kantor Mama aja yuk, Bin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanduk Kecil di Atas Kepala Kita
Novela JuvenilAbin kena kutukan. Tapi hingga kini, tak jua obatnya ditemukan. Lalu saat dia bertanya dengan siapa saja yang dianggap kawan, mereka justru tanpa rasa menertawakan dan menganggap dirinya hanya berlebihan. Saat bertanya pada lawan, mereka terbahak ke...