☔3. Aku Yang Terlalu Berharap

52 18 44
                                    

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

"What?!" teriak histeris dari Vallea hampir saja menggetarkan seluruh ruangan. Aku segera menutup mulut Vallea. Seisi ruangan menatap ke kami, membuatku malu.

Vallea sangat terkejut saat aku menceritakan jika Rashi mengajakku menemaninya ke toko cincin sepulang kerja. Sekarang jam lima sore, kebetulan Rashi serang ada meeting. Mungkin, ia selesai jam setengah tujuh malam.

"Serius? Pasti orang spesial itu kamu nggak, sih, Ri? Dia sengaja minta kamu yang pilih karena ujung-ujungnya buat kamu," tebak Vallea. Aku hanya bisa menggeleng, tidak mau berekspektasi terlalu tinggi. Namun, dalam hati kecilku, aku juga menyemogakan apa yang Vallea ucapkan barusan.

"Fix, Ri. Kamu harus ikut. Siapa tahu nanti di depan toko cincin itu, dia langsung melamarmu?" tebaknya diiringi senyum sumringah.

"Mimpi. Udah, ah, aku mau beberes dulu." Karena sebentar lagi jam pulang kerja, aku segera membereskan berkas-berkas yang ada di atas mejaku.

Setengah jam berlalu, Rashi belum juga keluar dari ruangan meeting. Malah di luar hujan sedang deras-derasnya mengguyur kota. Aku hanya menyaksikan hujan ini dari jendela di lantai dua. Iya, di sini disediakan sofa di depan jendela besar. Kadang untuk menerima tamu.

"Mau teh, Ri?" Suara itu mengagetkanku. Ternyata Rashi tiba-tiba saja datang dari belakang dan membawakanku secangkir teh hangat. Ia memang selalu membuatkanku teh ketika di kantor. Kadang aku sedang sibuk-sibuknya pun, ia dengan telaten membuatkanku teh hangat. Katanya agar aku pikiranku lebih tenang.

"Makasih, teh buatan kamu selalu enak. Rahasianya apa?" tanyaku lalu menyeruput teh yang Rashi buat.

"Teh, gula, air hangat, dan sedikit bubuk cinta," katanya lalu aku tertawa mendengar candaan yang baru saja ia katakan. "Berangkat sekarang, Ri?" tanyanya.

"Terserah kamu dong. Aku cuma nebeng. Mana mungkin aku ngatur-ngatur yang punya mobil."

"Nunggu reda aja, ya? Santai dulu, kita ngeteh sambil nikmatin hujan," tawarnya. Aku hanya mengangguk mendengar permintaannya. Asal kamu tahu, Ras, menikmati secangkir teh buatanmu sambil melihat hujan dari sini, itu sangat menenangkan jiwaku. Aku penasaran, wanita beruntung mana yang suatu hari nanti bisa menikah dengan pria sebaik Rashi. Ia akan beruntung bisa menikmati teh buatan Rashi yang dicampur dengan bubuk cinta itu dan pastinya, wanita istimewa yang akan ia belikan sebuah cincin nanti malam.

Setelah kurang lebih dua puluh menit, akhirnya hujan reda juga. Aku dan Rashi segera berangkat, naik mobil Rashi tentunya. "Jauh nggak, sih, Ras?" tanyaku padanya. Ia yang sedari tadi fokus menyetir langsung menoleh padaku.

"Enggak, kok. Palingan lima menit lagi."

Aku hanya mengangguk kemudian kembali fokus menatap jalanan luar dari kaca mobil yang berembun. Rintik gerimis masih saja mengguyur. Hujan sangat setia turun ke bumi, bahkan ketika orang-orang sudah mulai mengeluh dengan keberadaannya yang membuat hawa menjadi dingin.

Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang