☔24. Dia yang Datang Lagi

23 6 1
                                    

Hanya manusia yang tidak luput dari typo. Tandai jika ada.

 Tandai jika ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Mata kami saling bertemu untuk beberapa detik, sampai aku mengalihkan pandangan. Aku membalas jabatan tangan dari Rian. "Riani." Sebisa mungkin aku tersenyum.

"Kebiasaan? Emangnya kalian udah saling kenal sebelumnya?" tanya Bulan yang kebingungan dan menatap kami berdua.

"Nggak, kami nggak kenal, kok, Mbak," jawabku. Hatiku rasanya sesak saat bertemu Rian dengan keadaan yang sudah berbeda. Jadi, ini adalah alasan mengapa dia pergi tanpa kejelasan. Bilangnya mau ke Amerika, ternyata masih di sini dan sedang sibuk menyusun pernikahan dengan wanita lain.

"Oh, aku kira kenal, heheh." Dia tertawa kecil menanggapi jawabanku.

"Jadi, acaranya kapan, Lan?" tanya Pak Mikha.

"Aku, sih, maunya secepatnya. Tapi kalau Rian maunya tiga bulan lagi. Biar mateng gitu acaranya," jawab Bulan dengan penuh semangat. Mateng? Telor ceplok kali, ah!

"Kita pesen minum dulu aja, ya, biar lebih enak ngobrolnya," usul Pak Mikha. "Mbak!" Dia kemudian mengangkat tangannya dan memanggil pelayan kafe.

"Silakan, mau pesan apa, Pak?" Pelayan memberikan dua buku menu. Satu untuk Bulan dan Rian, satunya lagi untukku dan Pak Mikha. Aku menjelajahi tiap gambar minuman yang disajikan. Banyak macamnya, sampai aku pusing sendiri. "Kamu mau apa, Ri?"

"Bentar, Pak, saya pilih-pilih dulu," jawabku sambil melihat-lihat menunya.

"Em, saya mau lemon tea aja, Mbak." Pesan Pak Mikha, sedangkan aku belum menemukan minuman yang tepat sama sekali.

"Aku milkshake strawberry." Disusul Bulan yang sudah menemukan minuman yang tepat. Ayo, Ri, masa dari banyaknya menu nggak ada yang cocok?! Aku terus membolak-balikkan buku menunya.

Ah, ya, mataku tertuju pada satu minuman yang kusuka. "Coklat hangat, Mbak."

"Coklat hangat aja, Mbak."

Sial, aku dan Rian memesan menu yang sama secara bersamaan. Kami juga mengucapkan itu tak ada jeda sama sekali. Ish, kalau begini bagaimana bisa move on?!

Aku dan Rian saling pandang, sedetik sejak kami memesan minuman yang sama. "Loh, pesanan kalian bisa samaan gini?" tanya Bulan dengan ekspresi bingungnya.

Rian tak berhenti memandangiku, jadi aku langsung berlari mengalihkan pandangan ke buku menu. "Saya ... ganti jadi lemon tea aja." Secepat mungkin aku mengganti minuman yang kupesan, karena tidak ingin menyamai minuman Rian. Takut jika calon istrinya itu cemburu.

Aku segera mengembalikan buku menu pada pelayan. "Pak, saya izin ke toilet sebentar, ya," ucapku pada Pak Mikha, lalu langsung berjalan ke belakang. Di depan cermin toilet, aku hanya memandangi diriku sendiri. Melihat apa kurangnya aku hingga Rian memilih wanita lain? Jantungku berdebar-debar, rasanya aku ingin kabur saja sekarang juga. Aku mengatur napasku secara perlahan. Mungkin, aku akan bercerita pada Vallea nanti saat sudah di asrama.

Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang