☔15. Hening Malam

10 5 0
                                    

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Aku berjalan terus tanpa menghiraukan Rian yang terus mengikutiku. Dia tak bersuara, hanya langkah kakinya saja yang terdengar. Sampai di perempatan jalan yang sepi, aku bingung akan belok ke mana, kurasa aku tak tahu daerah ini.  "Kok, berhenti?" tanya Rian.

"A-aku nggak tahu harus ke arah mana," jawabku. Rian malah terkekeh-kekeh. Sialan, dia pasti ingin menertawaiku dengan keras. "Kok, ketawa?! Ngga lucu!"

"Kamu yang lucu, Ri. Udah tau nggak hapal jalan, masih aja ngeyel mau pulang sendiri. Aku aja yang tinggal di Amerika lima tahun, masih hapal daerah sini." Dia bisa-bisanya malah tambah mengejek.

"Ya, kan, ini daerah perumahan kamu. Pasti kamu taulah."

"Udah, mending kita ke tukang sate deket sini. Kamu masih laper, kan? Tadi kamu makan cuma dua sendok."

Benar juga kata Rian, bahkan sekarang aku saja masih lapar. "Di mana emang?"

"Tuh, di sana." Rian menunjuk ke sebuah gerobak kecil yang ada di bawah pohon pinggir jalan. Eh, kok, sepertinya aku pernah lihat tukang sate itu, ya? Tanpa aba-aba Rian langsung menarik tanganku.

Letaknya tak jauh dari tempat kami berdiri tadi. Mungkin hanya seratus meter. Penjual satenya pun sepertinya aku memang pernah lihat, tetapi aku lupa. Apa mungkin dulu aku pernah ke sini?

"Bang, lontong satenya dua porsi, ya!" teriak Rian pada pedagang sate itu. Sedangkan aku duduk di kursi menghadap meja panjang berbalut taplak motif bunga-bunga. Rian duduk di hadapanku setelah memesan sate. 

"Kok ngeliatinnya gitu, Ri? Kamu tahu tempat ini?" tanya Rian, mungkin ia penasaran karena aku terlihat bingung. Aku padahal sedang mengingat-ingat tempat ini.

"Aku dulu kayaknya pernah ke sini, tapi lupa," jawabku. Coba kuingat-ingat lagi. Taplak meja motif bunga-bunga yang masih sama, pohon, serta gerobak ini tak asing. "Ah, iya, aku ingat!" teriakku.

"Apa? Kamu pernah ke sini sama mantan?" tanya Rian. Mantan katanya. Padahal aku tak pernah pacaran sebelumnya. Mana sempat pacaran, aku saja sibuk bekerja dari SMA sampai kuliah agar mendapat pekerjaan yang lebih layak lagi.

"Enggak. Dulu bos aku pernah nyuruh beli lontong sate di sini. Tapi, aku bertemu dia, pelanggan setia di restoran tempatku berkerja dulu," jawabku. Dia itu bocah seumuranku yang sering membaca buku di restoran dan memesan menu yang sama tiap kali datang. Bocah berkacamata yang tampilannya culun. Aku tak tahu namanya.

"Oh, kamu kenal banget sama dia?" tanya Rian. Aku menoleh padanya untuk menjelaskan.

"Enggak juga, dia kalau ditanya selalu diam. Palingan ngomong juga kalau pas pesan makan di restoran. Itu udah lima tahun lalu, aku aja udah nggak ingat wajahnya. Tapi pokoknya dia, tuh, rambutnya ponian, pake kacamata bulat, hobi baca buku," jelasku lagi. Astaga, mungkin aku terlalu over sharing ke Rian.

"Mungkin dia udah jadi profesor kali, Ri. Kan, hobi baca buku," jawab Rian. Mungkin saja, sih. Entahlah, tetapi semoga dia jauh lebih sukses sekarang.

"Makasih, Bang." Kami berdua kompak menjawab saa Abang tukang sate meletakkan dua piring di meja kami.

"Loh, kayaknya saya pernah lihat Mbak-nya, tapi di mana, ya? Saya lupa," celetuk Abang tukang sate. Loh? Dia ingat aku ternyata.

"Saya dulu emang sering ke sini, Bang. Beliin pesenan bos. Tapi udah lima tahun yang lalu, sih, hehe. Sejak kuliah dan pindah kerja, saya udah nggak pernah beli satenya Abang lagi."

Penjual sate menyipitkan mata dan diam sejenak seolah sedang mengingat-ingat. "Ah, iya!" teriaknya,  membuat Rian yang sedang memakan satenya langsung tersedak.

"Ukhuk-ukhuk ...."

"Hehe, maap, Mas. Saya reflek tadi. Saya ingat, Mbak-nya yang selalu pake seragam kerja warna merah sama sering rambutnya dikepang dua, kan?" tebaknya yang ternyata benar. Seragam kerjaku dulu memang berwarna merah. Aku hanya tersenyum dan mengangguk mendengar tebakannya itu. "Ya, udah, selamat menikmati, ya, Mbak," ucapnya lalu kembali ke belakang gerobaknya.

"Ada-ada aja, niatnya mau makan sate malah jadi reunian." Rian berniat menertawakanku ternyata, tetapi aku tak peduli dan lanjut makan. "Ri, soal tadi ... aku minta maaf, ya?" ucapnya saat aku baru saja memakan sesendok lontong dan sate.

"Berarti kamu siap bilang ke orang tuamu kalau ini cuma kebohongan?" tanyaku balik.

Rian hanya diam. Mungkin ia malu jika harus jujur pada orang tuanya. Mau bagaimana lagi, dia yang menyalakan api, jadi dia juga yang harus mematikannya.  "Aku ... nggak bisa jujur sekarang, Ri. Mungkin butuh waktu." Jawabannya barusan membuatku kembali diam.

"Aku tahu semuanya, kok, Ri," ucap Rian tiba-tiba. Tahu apa yang ia maksudkan itu? Aku menatapnya lalu menaikkan dua alisku secara singkat. "Aku tahu kamu dulu ada hubungan sama Rashi." Aku semakin melotot mendengar kata yang baru ia ucapkan. Ah, sial. Aku berusaha menutupinya, ternyata Rian sudah tahu.

"Aku sama Rashi cuma teman kerja," jawabku santai lalu kembali menikmati makanan. Loh, kan, benar jawabanku barusan. Aku dan Rashi memang hanya berteman.

"Temen kerja yang saling suka maksudnya?" Astaga, Rian ini kenapa tebakannya benar terus. Apa sangat terlihat jika aku masih memperhatikan Rashi? "Aku lihat kalian pelukan tadi. Aku bisa rasain kamu nyaman banget di pelukan Rashi." Semoga dia tidak melaporkan apa yang ia lihat pada adiknya. Bisa habis dijambak oleh Raisa jika ia tahu suaminya memelukku tadi. "Ri, apa ... Rashi yang bikin trauma kamu sekarang makin bertambah?" Tebakannya benar lagi. Lambat laun ternyata Rian seperti cenayang yang tahu semuanya.

Rian memegang tanganku yang terdapat di atas meja. "Aku mau nyembuhin trauma itu. Kalau sama aku, kamu nggak bakalan ngerasain trauma lagi. Jadi ... izinin aku nyembuhin trauma itu, ya?"

☔☔☔

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang