☔23. Suara dari Masa Lalu

20 6 0
                                    

Hanya manusia yang tidak luput dari typo. Tandai jika ada.

 Tandai jika ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Jadi, sopir taksi tadi adalah direktur yang saat ini ada di depanku. "Duduk," ucapnya singkat. Aku segera duduk di kursi yang ada di hadapannya "Jangan panggil saya Mas sopir, tadi saya cuma gantiin temen saya yang lagi ke toilet. Eh, tiba-tiba ada pesenan masuk. Ya, saya gas aja," imbuhnya lalu menyodorkan tangannya. Aku membalas uluran tangan itu, kemudian kami berjabatan tangan. "Mikha Atmajaya."

"Riani," balasku. Agak kaget ternyata kami sudah pernah bertemu sebelum ini. Aneh juga, sih. Seorang direktur menjaga mobil taksi milik temannya. Pantas saja dia tadi bilang jika direkturnya itu orang baik, ternyata tak lain dan tak bukan itu adalah dirinya sendiri.

"Saya udah baca CV kamu. Ngga heran kenapa kamu diterima dengan cepat. Selamat bergabung, ya." Ucapan darinya barusan membuatku lebih bangga dengan diri sendiri.

"Terima kasih, Pak."

"Ah, iya. Kamu udah tahu, kan, posisi kamu di kantor wedding organizer ini?" tanyanya. Jelas tahu, waktu daftar saja sudah tertulis.

"Karyawan biasa-"

"Asisten saya." Lagi, dia sesegera mungkin memotong ucapanku. Apa tadi katanya? Asisten? Loh, di formulir saja aku mendaftar sebagai staf biasa, kok.

"Lah, Pak? Saya daftarnya sebagai karyawan aja. Kok, tiba-tiba jadi asisten?" tanyaku terheran-heran.

"Iya, saya tahu. Apa kamu nggak baca di halaman yang paling bawah kalau ada tulisan kecil yang bunyinya, jika diterima lebih awal, berarti siap ditempatkan di posisi asisten direktur. Kamu nggak baca, ya?" tanyanya. Aku hanya menatapnya kebingungan. Apa mungkin dia benar, ya? Salahku juga, sih, yang tidak memperhatikan sampai bawah.

"T-tapi saya nggak punya banyak pengalaman di perusahaan wedding organizer, Pak." Aku tertunduk karena merasa bersalah. Dari sekian banyak pendaftar, kenapa aku yang harus diterima duluan dan jadi asisten?

"Belajar, apa-apa nggak bisa langsung instan. Udah-udah, mending kamu sekarang angkat koper-koper kamu, lalu pergi ke asrama yang sudah disiapkan. Nanti tanya resepsionis aja di depan, ya."

"Baik, permisi, Pak." Aku segera berdiri dari duduk dan berbalik badan.

"Eh, tunggu," panggilnya lagi, membuatku yang akan keluar kembali menoleh, "saya boleh minta nomor kamu? Biar gampang kalau ada keperluan." Dia menyodorkan handphone-nya padaku. Bagaimana aku bisa memberikan nomorku, jika handphone saja baru hilang. "Kok, diam?" tanyanya, karena aku hanya diam sambil menatap handphone yang ia sodorkan. Di luar dugaan, Pak Mikha mengambil sesuatu di saku jas bagian dalam miliknya.

"Loh? Handphone saya?! Kok, bisa ada di Bapak?" Aku tentunya sangat terkejut saat melihatnya mengeluarkan handphone-ku.

"Tadi jatuh waktu ngerem mendadak. Nih, saya kembaliin." Ia memberikan handphone-ku, lalu aku menerimanya. "Nomor kamu jangan lupa." Aku mengambil juga handphone miliknya lalu mulai mengetik nomorku. Selesai, aku mengembalikan lagi padanya. "Kamu istirahat dulu, nanti malam temani saya bertemu client, ya?"

Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang