☔20. Hilang

13 5 0
                                    

Hanya manusia yang tidak luput dari typo. Tandai jika ada.

 Tandai jika ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Setahun berlalu, aku dan Rian masih tetap menjalani hubungan yang katanya 'jalani aja dulu'. Kami jalani hubungan itu dengan private. Tak ada orang yang tahu, kecuali Vallea. Hanya Vallea yang tahu dan aku percaya bisa menjaga rahasia ini. Bukan karena tak mau mem-publish, hanya saja aku takut Raisa tidak akan terima dan langsung emosi.

Ternyata benar, cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Rian yang tak pernah berhenti membuatku tersenyum, selalu datang di hari minggu ke rumahku untuk sekadar menghabiskan waktu berdua, atau nonton film di handphone. Ke taman kota tiap malam minggu malah jadi rutinitas kami seminggu sekali.

Puncaknya malam ini, Rian akan meminta izin pada orang tuanya jika kami akan melangkah ke satu tahap yang lebih serius. Malah jadi aku yang gerogi. Entah bagaimana respon Raisa nanti, sepertinya aku sudah harus siap dari sekarang jika ia mau menjambak atau menamparku. Kalau Tante Junie dan Om Kusuma, mereka sudah tahu jika aku kembali berteman dengan Rashi sejak kebohongan saat makan malam itu terungkap. Namun, mereka belum tahu jika dalam setahun terakhir aku dan Rashi mendalami tahap perkenalan lebih dalam.

Saat ini aku dan Rian sedang makan siang di kantin. "Kenapa? Nggak usah deg-degan gitu, ah. Mama papaku, kan, udah kenal kamu. Pasti direstui, kok," ucap Rian seolah meyakinkan aku. Dia ini tahu saja jika jantungku sedang tidak aman. Bukan orang tuanya yang aku cemaskan, melainkan adiknya.

"Bukan mama papamu yang aku pikirin, tapi adik kesayangannya Aa Ian itu, loh." Aku menirukan panggilan kesayangan Raisa pada Rian.

Mendengar itu, Rian tersenyum lalu mengacak-acak rambutku. Ish, kan, jadi berantakan! "Apaan, sih, lucu banget calon istri!" Selesai mengacak-acak rambutku, sekarang ia mengacak-acak hatiku. Ada-ada saja, calon istri katanya. Itu membuatku tertawa. "Semua bakalan baik-baik aja," imbuhnya. Baiklah, jika Rian sudah bilang begitu, tentu benar, semua akan baik-baik saja.

Tak lama kemudian, kami melanjutkan makan hingga handphone Rian berdering. Panggilan masuk itu mengentikan kegiatan makannya sejenak. "Halo? Iya, Ma?" tanya Rian pada seseorang dari balik telepon.

"Iya, aku ke sana sekarang," ucapnya lagi, lalu mematikan panggilannya.

Rian sekarang terlihat buru-buru menghabiskan makanan yang ia pesan, aku jadi bingung. "Siapa yang nelpon? Kok, buru-buru gitu?" tanyaku. Rian sekarang beralih meneguk estehnya hingga habis.

"Aku dipanggil Mama ke ruangan direktur. Bentar, ya? Kamu kalau udah selesai, duluan aja ke ruangan. Bye ...." Dia langsung pergi setelah pamit. Seperti ada sesuatu yang penting. Aku tak mau pikir panjang, mungkin masalah kerjaan.

Aku segera menghabiskan makananku dan segera kembali ke ruangan seperti yang Rian suruh. Vallea ternyata tidak keluar ke kantin sama sekali. Katanya, Haris mengiriminya makan siang. Ah, iya, mereka sudah melakukan lamaran dua bulan lalu dan sekarang sedang rencana menyusun pernikahan. Aku turut bahagia, melihat Vallea akan segera melepas masa lajangnya.

"Eh, Ri? Kok, sendirian? Pak Rian mana?" tanyanya yang masih makan sambil mengurus beberapa berkas.

"Ada urusan bentar di ruang direktur, katanya. Siapa tahu dia lama, ya, udah aku ke sini duluan aja," jawabku lalu segera duduk dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

Jika di kantor, aku dan Rian bersikap layaknya bos dan karyawan. Sering sekali ia curi-curi pandang saat jam kerja, karena memang jarak meja kami yang tak terlalu jauh. Pulangnya, aku selalu diantar oleh Rian. Biasanya kami menunggu kantor sepi, sekalian menunggu Rian menyelesaikan pekerjaannya.

Tak beberapa lama kemudian, Rian datang dan langsung duduk. Dia terlihat tidak melirik ke arahku dan wajahnya terlihat datar. Tak apa, mungkin sengaja tak ingin membuat yang lain curiga. Anehnya, sampai di tempat duduknya, Rian malah mengemasi laptop dan berkas yang ada di mejanya lalu memasukkan itu ke dalam tasnya. Eh? Dia mau meeting? Jika meeting, tumben sekali membawa semua berkas yang ada di meja. Biasanya ia hanya tinggal berangkat, karena berkas-berkas sudah disiapkan dan tidak pernah membawa tas.

Pak Endra yang tiba-tiba masuk, membuat kami semua kaget. Terlebih lagi Vallea yang sedang makan. "Selamat siang, semuanya," sapanya. Membuat kami semua langsung berdiri. "Maaf mendadak, tapi saya harus menyampaikan ini." Kalimatnya semakin membuat kami semua penasaran. Datangnya Rian yang tiba-tiba maju lalu berdiri di samping Pak Endra membuat kami semua semakin bingung. Rian membawa tasnya dan berjalan menunduk. "Hari ini adalah hari terakhir Pak Riandra bekerja di sini. Beliau akan pindah kerja ke perusahaan ayahnya." Aku kaget mendengar Pak Endra mengatakan itu. Ada apa ini? Rian kenapa pindah secara tiba-tiba? Jadi, dia akan pindah ke perusahaan Raisa?

"Baik, hari ini saya memutuskan untuk resign. Terima kasih kerja sama yang baik dari teman-teman selama satu tahun saya bekerja di sini. Saya pamit, permisi." Rian lalu pergi keluar ruangan. Bahkan, dia tidak anak niat menjelaskan apa pun padaku.

Aku yang masih penasaran dan butuh penjelasan darinya pun langsung ikut berlari keluar dan mengejar Rian. "Permisi, Pak. Saya ada urusan kerjaan yang belum selesai dengan Pak Riandra." Aku pamit pada Pak Endra.

Di luar, tepatnya di lorong menuju ruang depan, Rian memang terlihat berjalan tergesa-gesa. "Rian!" Aku memanggilnya lumayan keras. Lorong ini lumayan kedap udara, masih di sampingnya banyak sekali ruang kerja. Rian mengentikan langkahnya. Melihat itu, aku langsung berlari ke arahnya. "Ada apa, sih? Kok tiba-tiba gini? Kamu pindah ke kantor lama? Its okay, harus tetep semangat meski kita nggak satu kantor lagi." Aku memegang pundak Rian. Ia hanya diam dan menatapku tanpa sepatah kata pun. Ada apa, sih? Mata Rian juga terlihat merah, seperti orang yang menahan tangis. "Rian? Ngomong, dong. Jangan malah bengong. Itu, kan, kebiasaan aku. Masa berpindah ke kamu, sih?"

"A-aku ...." Rian menjeda kalimatnya. Memejamkan mata kemudian menunduk. "Aku nggak pindah ke kantor lama, Ri," ucapnya dengan nada gemetar. Rian memelukku dengan cepat, aku lantas bingung, sebenarnya ada apa ini?

"Kenapa, sih? Kamu nggak pindah ke kantor lama? Terus ke mana, dong?" tanyaku yang mulai panik dan melepaskan pelukan itu.

"Ke Amerika. Aku nggak tahu sampai kapan aku bakalan menetap di sana."

Bagai petir di siang hari, kabar darinya membuatku sedikit shock. "Terus rencana kita nanti malem jadi, kan?" tanyaku. Rian hanya diam lagi.

"Lupain aku, ya? Cari seseorang yang lebih baik dari aku. Aku pamit, Ri." Rian langsung pergi setelah mengucapkan itu. Jadi, ini nyata? Rian benar-benar pergi? Aku merasakan badanku lemas tak bertenaga, keringat yang bercucuran, serta pengelihatan yang mulai berkunang-kunang. Kesadaranku pun perlahan mulai hilang.

☔☔☔

 ☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang