☔☔☔
Aku tak menjawab yang Rian bicarakan barusan. Rashi saja yang kukenal baik selama tiga tahun, serta terlihat seperti tidak menyukai siapa-siapa pun tiba-tiba menikah dengan orang lain. "Kalau trauma itu nggak sembuh?" tanyaku. Aku segera melepaskan tanganku yang Rian pegang.
"Aku bakalan nunggu sampe sembuh. Yuk, lanjut makan," titahnya. Aku tak boleh percaya dengan pria yang baru kukenal seperti Rian. Ia memang terlihat seperti orang baik, tetapi kita tidak tahu tentang masa lalunya. Dia dari keluarga baik, tetapi adiknya adalah musuhku. Ralat, aku tak menganggap Raisa musuh, hanya saja perbuatan yang ia lakukan dulu itu sangat menghancurkan mentalku.
....Setelah makan, Rian memutuskan menemaniku pulang. Kami berjalan kaki karena aku tak mau diantar menggunakan mobil. Padahal, Rian terus bersikeras menawariku, tetapi aku ingin menikmati angin malam.
Ternyata berjalan kaki tak semulus yang kubayangkan. Kami harus melewati jembatan gantung yang pencahayaannya minim. Untung saja jembatan ini agak lebar, jadi bisa untuk berjalan bersebalahan. Kata Rian ini adalah jalan pintas menuju rumahku. Memangnya iya? Aku tak pernah tahu ada jalan pintas, loh. "Rian, nggak ada jalan lain emangnya? Di tengah jembatan sampai ujung sana itu gelap, loh."
"Ya, enggak ada. Siapa suruh kamu nggak mau diajak naik mobil," ejeknya diiringi tawa ringan. Benar juga, sih, tetapi aku sudah lama tidak berjalan di keheningan malam. Teringat saat dulu masih lengkap bersama orang tuaku, kami sering kali ke pasar malam bersama, lalu pulang jalan kaki. Meski jauh, nyatanya itu tak sebanding dengan kehangatan suasananya. Sayangnya, yang terlihat harmonis ternyata menyimpan kisah miris.
Sebagai alat penerangan, kami menyalakan senter handphone masing-masing, kemudian berjalan menyebrangi jembatan yang gelap. "Rian ...," panggilku. Rian kemudian menoleh. "Cerita tentang kamu, dong. Aku pengen tahu."
Riandra yang tidak bisa serius ini malah tertawa. "Haha, mau cerita tentang apa? Hidupku gini-gini aja, Ri. Oh, atau ini adalah pertanyaan biar kamu tahu siapa aku? Biar lebih kenal calon masa depan. Itu, kan, maksudnya?" tanyanya dengan tingkat percaya diri di atas rata-rata. Aku yang mendengar itu langsung tertawa.
"Idih, GR!" Aku menampol lengannya. Siapa suruh kepedean!
"Aku sekolah di sini cuma sampai SMA kelas dua, semester satu. Habis itu aku pindah ke Amerika dan lanjut kuliah di sana. Aku ambil bisnis karena pengen jadi pengusaha. Udah, sih, kayaknya nggak ada yang menarik dari hidup aku."
"Kenapa pindah?" tanyaku. Namun, Rian terlihat sangat lama menjawabnya. Hanya terdengar suara hewan-hewan kecil di malam hari.
"Aku dan Raisa sering berantem, Ri. Makanya Mama mau kita dipisah dulu beberapa waktu, eh, malah aku keterusan sampai bertahun-tahun di sana. Padahal, berantemnya pun biasa aja, loh. Nggak sampai bakar rumah, kok."
"Ahahah ... ada-ada aja kamu!"
Aku yang tak menyadari telah berjalan sendirian tanpa ada Rian di sampingku, langsung menoleh ke belakang. Dia berhenti dengan lampu flash-nya yang masih menyala dan memperhatikanku. "Rian? Kok, berhenti?" tanyaku padanya. Ia tersenyum tipis. Di tengah gelap begini, senyumnya itu malah terlihat seram. "Rian! Jangan main-main, deh. Ayo, cepetan lanjut jalan!"
"Aku seneng bisa liat kamu ketawa begini, Ri. Coba bilang, kapan terakhir kali kamu ketawa?" tanyanya. Kami sambil lanjut berjalan.
Aku berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan Rian barusan. "Dua minggu yang lalu, mungkin," jawabku ragu.
"Sejak ditinggal Rashi menikah, ya?" Aku langsung terdiam mendengar itu, padahal memang benar. Sejak mendengar kabar Rashi menikah dengan pernikahan yang super dadakan itu, kurasa saat itu juga aku berhenti tertawa lepas seperti tadi. "Kok diam? Bener, ya?" tanyanya lagi. "Punya teman hidup nggak terlalu menyedihkan, kan, Ri? Bisa bikin kamu ketawa."
"Teman hidup? Nikah maksudnya?" Aku menjawab dengan cepat. Pasti yang akan ia bahas adalah tentang pernikahan lagi. Rian hanya mengangguk sebagai jawaban. "Menikah itu sebuah ikatan saling menyembunyikan urusan masing-masing, kan?"
"Enggak juga, dalam sebuah pernikahan kita bisa saling membagi beban pada pasangan kita. Memangnya kamu nggak mau kalau ada apa-apa ngeluhnya ke satu orang? Apa kamu nggak pengen nanti di hari tua ada yang nemenin?"
Bahkan, sekarang di mataku pernikahan hanyalah wahana menakutkan. Untuk apa menikah jika saling menyembunyikan rahasia satu sama lain? "Pikiranmu terlalu jauh, Yan. Aku nggak akan menikah. Hidup seperti ini udah cukup bagiku. Hidup yang bebas dan tanpa tekanan orang lain."
"Kamu nggak mau nikah karena belum bertemu orang yang tepat, Riani Sekar Ayudhya. Lagian, itu bukan orang lain, itu pasangan kita. Kamu harus ingat kalimatku ini, ya. Dengerin." Dengan sengaja aku membuang muka ke arah lain. "Cinta itu tau ke mana ia akan pulang. Cinta akan pulang ke rumah yang tepat," sambung Rian. Bohong! Persetan, aku tidak akan menikah! Kejadian di restoran kemarin bahkan semakin menambah traumaku. Perselingkuhan jadi faktor utama retaknya rumah tangga orang-orang terdekatku. "Ri? Kok, diam?"
Aku menoleh padanya. "Besok libur, kan, ya? Malemnya kita ke pasar malam, yuk. Katamu nggak takut masuk rumah hantu, kan?" Aku sengaja mengalihkan pembicaraan ini agar Rian tidak membicarakan tentang pernikahan terus menerus.
"Boleh, nanti kalau takut jangan peluk aku, ya?" Tuh, kan, mulai lagi kepercayaan dirinya. Tak apalah, hitung-hitung melawan kenangan terhadap Rashi. Sesuatu yang malah dihindari, kan, biasanya akan semakin teringat.
Kami lanjut berjalan, hingga tak terasa sudah ada di ujung jembatan saja. Terlihat dari kejauhan sebuah cahaya lampu yang jumlahnya lumayan banyak. Nah, itu pasti sebuah desa.
Ternyata benar. Kami keluar dari jalan yang sempit hingga akhirnya bertemu jalan besar yang lumayan dekat dengan rumahku. Wah, kenapa aku tidak tahu dari dulu jalan ini, ya? Tinggal berjalan sedikit dan kami sudah sampai di rumahku.
"Makasih udah mau anterin aku pulang, Yan," ucapku.
"Aku nginep di sini boleh? Ada kamar yang kosong, kan?" tanyanya. Hah? Aku enggak salah dengar? Rian berniat bermalam di rumahku?
"Y-ya ada, tapi enggak ada AC-nya kayak di rumah kamu, loh, ya." Terpaksa aku memperbolehkan ia menginap. Untung saja tetangga di sini tidak julid, jadi anggap saja aman. Lagi pula ini sudah jam setengah sebelas malam. Takut terjadi apa-apa jika ia pulang di jam malam.
"Nggak apa-apa, aku bisa hidup di segala cuaca, kok." Dia ini malah melawak lagi. Untungnya ada kamar kosong khusus tamu. Ya, walaupun harus dibersihkan terlebih dulu karena lama tidak dipakai.
"Ya, udah, yuk masuk." Aku membuka pintu rumah. "Kamu duduk di sofa dulu aja, ya? Aku bersihin bentar kamarmu."
Tanpa basa-basi aku bergegas menuju kamar tamu. Lumayan banyak debunya, jadi mungkin agak lama. Kamar ini dulunya adalah gudang, tetapi karena Vallea sering menginap di sini saat masa-masa kuliah dan tak ingin sekamar denganku, akhirnya ini aku jadikan kamar tamu. Namun, setelah bekerja Vallea malah jarang menginap di sini. Katanya jauh dari kantor. Ya, sudah, jadinya kamar ini pun tak terpakai hingga sekarang.
"Aku bantu bersihin, ya?" Rian tiba-tiba saja muncul saat aku tengah mengambil seprei baru dari dalam lemari. Astaga, mengagetkanku saja!
☔☔☔
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Januari [TERBIT] ✓
Teen Fiction🥇Juara 1 Writing Marathon 30days with Candupena yang diselenggarakan tanggal 16 Febuari - 18 Maret 2024🥇 [STORY 3] GENRE: ROMANCE - ADULT Blurb: "Menikah hanyalah hal tak berguna. Bagaimana bisa kau membuang-buang waktu untuk seseorang yang tiba...