☔2. Pria kemeja merah

67 18 37
                                    

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Paginya, aku bangun sedikit terlambat karena tadi malam sulit tidur. Aku segera memanggang roti di oven toaster. Rumah yang tidak terlalu besar ini tidak membutuhkan banyak tenaga saat membersihkannya. Biasanya sambil menunggu rotiku matang, aku beberes biasanya akan membersihkan debu-debu di atas meja, kursi, dan yang lainnya lalu menyapu.

Sambil menikmati roti bakar, aku membuka ponselku. Ternyata ada satu pesan dari Rashi tadi malam yang belum aku buka. Mungkin aku sudah tidur saat ia mengirimiku pesan.

Rashi.
Ri, aku pulang malam ini,
nggak jadi nginep di rumah sakit.
Besok aku berangkat kerja, heheh.
                                       02:45.

Aku sampai melongo kaget saat melirik ke waktu tepat pesan itu dikirim. Gila saja, Rashi pulang hampir jam tiga pagi? Nekat sekali. Padahal, apa susahnya menunggu sampai kondisinya benar-benar pulih.

Setelah sarapan, aku bergegas siap-siap. Untuk outfit hari ini, aku memilih kemeja abu tua dengan celana dasar warna hitam. Rambut selalu aku ikat karena aku terkadang merasa risih jika digerai.

Dengan menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit menggunakan ojek online, aku kini sampai di kantor. Walaupun sedikit macet. Aku kemudian memencet tombol lift untuk naik ke lantai dua. Iya, ruang kerjaku ada di lantai dua.

Dari lift yang berhenti, keluar seorang wanita ber-heels merah juga mengenakan blazer rapi. Tak mungkin aku tak kenal dengan wanita ini. Dia adalah Raisa Kusuma Mahendra—anak pemilik perusahaan terkenal yang sudah lama bekerja sama dengan perusahaan ini. Tumben ia ke sini, biasanya ia hanya akan menghabiskan waktunya untuk berbelanja di mall atau sekadar berjalan-jalan ke luar negeri. Jangan kalian kira hubunganku dengannya baik-baik saja. Aku tak mungkin bisa melupakan perundungan yang ia lakukan padaku saat SMA. Entah merasa tersaingi atau apa, wanita ini tak pernah berhenti menggangguku. Padahal, memangnya apa yang bisa dibanggakan dariku sampai ia iri? Tidak ada, menurutku.

"Oh, hai. Ketemu di sini. Tunggu sebentar lagi, ya. Lo bakalan kaget, gue yakin," bisiknya, lalu pergi begitu saja. Entah apa maksudnya, aku pun tidak mau memedulikannya. Mungkin ia hanya iseng. Aku segera masuk ke lift karena takut terlambat. Kemungkinan Vallea sudah di atas dan menungguku.

"Pagi ...," sapaku ke beberapa teman-teman, jumlahnya ada sepuluh orang yang ditempatkan di lantai dua. Mereka sudah terlihat sibuk masing-masing mengetik di laptop. Tak terkecuali Vallea yang sibuk menata berkas-berkas untuk meeting nanti siang.

"Pagi, Ri ...," jawab mereka serentak.

"Ri, tolong berkas yang ini kamu susun, nanti saya ambil di jam makan siang, ya?" ucap seorang pria berjas hitam rapi. Siapa lagi kalau bukan Rashi yang tiba-tiba memberikan setumpuk berkas, bahkan aku baru saja duduk. Padahal ia baru saja pulang dari rumah sakit jam tiga pagi tadi. Bisa-bisanya ia malah lebih dulu sampai kantor dari pada aku. Ah, pria itu memang semangat bekerjanya sangat tinggi.

Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang