☔7. Bertemu Dengannya

31 14 21
                                    

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Aku sampai sudah selesai menyiapkan berkas-berkas, Pak Riandra belum juga datang sejak dari kantin tadi. Apa mungkin dia marah karena aku menolak tawaran traktiran tadi?

"Sudah semua, Ri? Ayo berangkat. Vall, titip ruangan, ya. Saya pergi dulu sama Riani," ucapnya yang buru-buru mengambil tas. Sedangkan Vallea sibuk mengetik laporan di laptopnya, bahkan ia hanya menaikkan alis tanpa menoleh ke Pak Riandra. Apa jangan-jangan ... mereka sudah saling kenal maka dari itu Vallea bersikap seolah-olah Pak Riandra adalah temannya.

"Sstt ... Vall. Bos, loh, itu. Masa gitu jawabnya?" bisikku. Dengan sigap, Vallea yang tadinya duduk membungkuk dan terlihat sangat fokus ke laptop, segera duduk tegap.

"Siap, Pak," ucap Vallea dengan tegas. Kurasa sikapnya sedikit aneh.

Pak Rian keluar terlebih dulu. "Vall, duluan, ya." Aku pamit pada Vallea, ia hanya mengangguk saja. Dengan langkah yang dipercepat, aku mengikuti langkah Pak Riandra yang bisa dibilang lumayan cepat.

Di dalam mobil, kami hanya saling diam. Kukira di perusahaan yang jauh, ternyata arahnya sama persis ke perusahaan keluarga Raisa. Untunglah Rashi sedang liburan, mungkin sedang berbulan madu dengan istrinya.

Astaga, aku lupa. Sudah seminggu Mas Karyo belum datang menagih tagihan rumah. Apa ia lupa, ya? Lalu, jika nanti ia datang, alasan apa yang harus aku katakan lagi, bahkan gajiannya masih lama.

"Ri, rumah kamu di mana? Jauh tidak dari sini?" tanya Pak Rian.

"Lumayan, Pak. Saya tiap pagi naik ojek."

Laki-laki itu tersenyum, "Kalau saya jemput, mau?" tanyanya yang membuatku melotot padanya.

"Nggak usah, Pak. Nanti istri Bapak marah. Saya nggak mau-"

Dia mengerem secara mendadak. Membuatku tersungkur ke depan. Astaga, untung saja tidak terluka. "Istri? Kamu kira saya umur lima puluh tahunan? Saya satu tahun lebih tua dari kamu, Riani Sekar Ayudhya."

"Hah? Kok, Bapak tahu nama lengkap saya?!" Jelas aku kagetlah. Baru berkenalan tadi pagi ia sudah tahu nama lengkapku.

Ia tertawa kecil lalu menoleh padaku. "Tahulah, kamu kira sebelum jadi bos, saya tidak membaca biografi karyawan saya? Saya baca semua. Oh, ya, kalau istri ... saya belum punya. Kamu mau?"

Hah? Apa-apaan ini, kenapa sekarang tingkahnya makin menjadi-jadi? Iya, kalah belum punya istri, sih, tidak masalah. Anehnya malah menawari orang random sepertiku. Tak terbayang berapa banyak orang random yang ia tawari.

"Bercanda. Sudah sampai, kenapa nggak turun?" Saking terkejutnya mendengar dia bicara begitu tadi, aku sampai baru sadar jika kamu sudah ada di depan gedung perusahaan milik keluarga Raisa.

"Ayo, masuk," ajak Pak Riandra. Aku hanya mengikuti berjalan di belakangnya.

Pertama, kami masuk lewat lift karena ruang meeting ada di lantai paling atas yaitu lantai lima belas. Di dalam lift yang penuh, kami berdesak-desakan hingga tubuhku sudah teratuk di dinding lift sedangkan Pak Riandra di sebelahku. Hampir saja aku sesak napas karena terlalu lama di dalam sini.

Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang