☔17. Nasi Goreng Spesial

11 5 0
                                    

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔


"Minimal ketok dululah, bikin kaget aku aja!" Aku menggerutu kesal karena Rian tiba-tiba mengagetkan. Padahal dia tinggal terima beres, malah mau ikut-ikutan.

"Hehe, masa aku jadi tamu yang cuma bener-bener numpang tanpa ada effort. Kan, jadi nggak enak," ucapnya sambil tertawa cengengesan. Padahal, memangnya dia pernah bersih-bersih? Pembantunya saja paling sedikit ada dua puluh orang. Mungkin memegang gagang sapu saja Rian tidak pernah. "Jadi, apa yang bisa aku bantu?"

"Bantu diem," jawabku cepat agar ia tidak semakin bawel. "Orang sugih yang terbiasa hidup mewah kayak kamu mana bisa bersih-bersih?"

"Bisalah. Kamu kira aku di Amerika nyewa pembantu? Aku bersihin sendiri," ucapnya dengan bangga, seperti terlihat kurang meyakinkan.

"Ya, udah kamu ganti sepreinya, ya." Aku mengambil seprei dari lemari pakaian juga sarung bantal dan guling. Rian terlihat langsung melepas sprei lama yang terpasang di kasur. Dia meletakkan sprei dan sarung bantal yang kotor itu di lantai, kemudian menggelar sprei yang baru saja kuberikan. Ternyata ia benar-benar bisa. Aku membantunya memasang sarung bantal dan guling.

"Ri, maafin Raisa, ya." Ucapan Rian membuatku yang tadinya fokus memasang sarung bantal jadi menoleh padanya. Kenapa tiba-tiba ia bicara seperti itu, ya?

"Soal? Raisa nggak punya salah apa-apa, kok, ke aku."

"Soal perkataannya di meja makan tadi, soal dia yang dulunya nge-bully kamu, dan soal ... dia merebut Rashi dari kamu." Ah, tentang itu ternyata.

"Jodoh udah ada yang ngatur, Yan. Takdir Rashi emang jadi suami Raisa. Lihat aja, nama mereka mirip, kan? Rashi dan Raisa." Aku mencoba tersenyum meski membicarakan ini ternyata membuat aku sesak sendiri.

"Berarti takdirku tuh harusnya kamu, kan? Nama kita juga hampir sama. Riandra sama Riani. Sama, kan?" Eh, iya juga. Haish, berpikir apa, sih, aku?

"Kamarnya udah selesai, Yan. Kalau ada apa-apa, panggil aku aja." Aku segera berdiri dan pergi keluar dari kamar Rian. Aku tak ingin melanjutkan obrolan ini, aku juga tak boleh terlalu dekat dengan Rian.

Aku memilih mandi dan langsung tidur saja. Untung kamar mandiku ada di dalam kamar, jadi aku tak perlu ke kamar mandi luar. Merebahkan diri di atas kasur memang sangat nikmat setelah seharian beraktifitas, apalagi besok libur, aku jadi punya banyak waktu untuk bangun siang. Malamnya kemungkinan aku akan pergi bersama Rian ke pasar malam, aku sudah janji padanya.
...

Suara ketukan dari pintu kamar mengejutkanku. Siapa, sih, pagi-pagi begini sudah mengetuk pintu? Kurang kerjaan sekali! Dengan rambut yang masih acak-acakan serta masih mengenakan dress tidur berwarna nude di atas lutut, aku berjalan ke arah pintu, hendak melihat siapa orang kurang kerjaan itu.

Saat aku membuka pintu, ternyata orang itu adalah Rian yang berdiri di depan pintu. Mampus, mana baju tidurku sangat pendek, Rian juga malah memperhatikanku dengan santainya. "A-aku ... cuma mau bangunin kamu, kok, Ri." Setelah dia mengucapkan itu, dia membalikkan badan, tetapi tetap berada di tempatnya berdiri.

Astaga, malunya aku. Bisa-bisanya memakai dress tidur di depan Rian. Tadi pun nyawaku belum terkumpul, otomatis aku lupa jika Rian semalam menginap di sini. Aku segera menutup pintu dan menguncinya. Mencari baju yang agak pantas lalu memakainya dan bergegas keluar ke ruang tamu. Di sana aku melihat Rian sedang sibuk memainkan ponselnya.

"Ri, aku ... maaf, ya. Tadi aku nggak tahu kalau kamu masih pakai baju tidur. Aku nggak ada niatan ngintip ataupun mesum sama sekali, kok, Ri. Sumpah!" ucapnya terlihat sungguh-sungguh. "Lagian, kamu bangunnya siang banget, sih. Lihat sekarang udah jam berapa, untung kita libur kerja," ucapnya tak berhenti mengomel. Aku melihat ke arah jam dinding. Astaga, ternyata sudah jam sembilan pagi?! "Jangan sok kaget gitu, aku udah biarin sarapan nasi goreng, loh."

Aku tak bisa berkata-kata dengan tindakan Rian barusan. Nasi goreng katanya? "Loh, kamu bisa masak?" Sebisa mungkin aku bersikap normal setelah kejadian memalukan tadi.

"Bisa, dong. Aku tadi bangun tidur niatnya mau ambil minum di dapur. Eh, aku lihat ada nasi di rice cooker-mu. Ya, udah aku langsung bikin jadi menu sarapan aja, deh," ucapnya seakan sangat bangga. "Yuk, keburu dingin, loh." Rian menarik tanganku hingga kami sekarang berada di ruang makan.

Terlihat dua piring nasi goreng berwarna merah lengkap dengan lauk telur mata sapi di tengahnya juga dua gelas susu putih. Eh? Rian sempat-sempatnya membeli susu? "Kamu beli susu juga?" tanyaku. Kupegang jelas susu tersebut, ternyata masih panas.

"Iya, tadi aku beli di tukang sayur." Ia lalu menarikkan satu kursi untukku. Aku malah berasa jadi seperti raja kalau begini. Padahal, kan, Rian adalah tamunya.

"Makasih." Aku duduk di kursi yang telah Rian siapkan. Mencicipi nasi goreng buatannya. Agak pedas, sih, tapi ini enak. Tidak terlalu buruk meski kurang asin.

"Gimana? Enak?" tanyanya begitu aku selesai menyiapkan satu sendok ke mulutku.

"Enak. Tapi kepedesan, sih. Kurang asin dikit." Aku menjawab sambil kepedasan.

"Oke, noted. Makanya aku sediain susu hangat, biar kalau kepedesan bisa langsung hilang kalau minum susu. Nih, minum." Rian memberikan satu gelas susu itu padaku. Ternyata itu alasannya ia membeli susu juga.

Lanjut Rian yang makan setelah mendengar komentar dariju tentang nasi gorengnya itu. Dia terlihat biasa saja setelah memakan beberapa sendok nasi goreng. "Kamu emang doyan makanan pedas, ya?" tanyaku. Terlihat ia memang tidak merasakan pedas sedikit pun.

"Iya, hehe. Aku mending makan pedes dari pada makan yang manis-manis. Lihat kamu udah manis soalnya." Ucapkan barusan membuatku sedikit tertawa. Ada-ada saja Rian ini. "Tuh, kan, kalau ketawa makin manis."

"Gombal aja terus sampai nasinya jadi bubur!" Aku melanjutkan makanku. Hari ini mungkin aku akan beberes rumah saja. Biasanya aku akan pergi nonton bersama Vallea. Namun, sekarang Vallea sibuk dengan pacarnya sampai tak ada waktu untukku di hari weekend.

"Ini gambaran kita kalau nikah nanti, Ri. Gimana, kamu udah kebayang belum manisnya menikah? Tiap pagi sarapan bareng, becanda-becanda, dibikinin susu hangat," ucapnya lagi. Hadeh, mulai lagi dia dengan khayalannya itu.

"Yang mau nikah sama kamu juga siapa? Aku tetap dengan pendirian aku seperti tadi malam. Dan selamanya akan seperti itu." Aku selesai menyantap semua nasi goreng hingga habis tak bersisa, lalu mencuci piring duluan. Meninggalkan Rian yang baru saja aku marahi.

"Ri, aku pulang dulu, ya. Makasih udah dibolehin nginep. Maaf soal tadi, harusnya aku nggak bicara begitu. Jangan lupa nanti malam kamu ada janji pergi ke pasar malam sama aku. Jangan sampe lupa, ya," ucapnya saat aku sedang berbalik badan dan mencuci piring. Ingatannya tajam juga ternyata. Padahal aku berharap Rian lupa dan aku tak perlu menemaninya ke pasar malam.

☔☔☔

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang