☔11. Penolong di Waktu yang Tepat

14 5 0
                                    

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Aku hanya bisa merintih kesakitan saat Mas Karyo mendorongku sampai jatuh. Aku tak menyangka ia bisa sekasar ini, bahkan sebelumnya tidak pernah. Biasanya selama apa pun aku menunggak, ia tak akan marah, biasanya hanya merayu saja. Itu pun sudah membuatku sangat risih dan ingin segera mengusirnya.

Rian yang terlihat terkejut langsung membantuku berdiri. "Nggak apa-apa, kan? Mana yang luka?" tanyanya begitu cemas. Seakan tak terima, Rian menatap Mas Karyo dengan tatapan mengerikan. "Hei, bisa gak usah kasar sama perempuan bisa, nggak?!" bentak Rian pada Mas Karyo lalu mendorongnya, persis seperti yang Mas Karyo lakukan padaku.

Aku hanya bisa memeluk tubuhku yang kesakitan tanpa bisa melerai mereka. "Udah beberapa bulan cicilan rumah ini nggak dibayar sama dia," tunjuk Mas Karyo ke wajahku. Melihat itu, Rian segera menepis tangan Mas Karyo.

"Jangan pernah menunjuk-nunjuk Riani!" bentak Rian yang membuat Mas menurunkan tangannya.

"Wajar, dong, saya marah. Saya cuma menjalankan tugas, saya cape dimarahi terus sama bos saya!" teriak Mas Karyo pada Rian.

"Berapa tunggakannya?"

"Tujuh juta," jawab Mas Karyo yang kemudian membuat Rian mengambil sesuatu di saku jas bagian dalamnya. Eh, apa yang akan dia ambil?

Ternyata ia mengeluarkan amplop tebal berwarna cokelat. Astaga, apa itu isinya uang? "Nih, ambil. Itu ada sepuluh juta, sekalian buat lunasin sisanya." Rian melempar amplop cokelat itu hingga uang berwarna merah yang jumlahnya sangat banyak berhamburan. Astaga, lagi-lagi Rian repot-repot menolongku, mulai besok akan beralih aku yang membayar hutang padanya. "Ayo, Ri, kita masuk. Rumah ini udah jadi milik kamu, kok." Dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Tindakannya ini benar-benar harus diacungi jempol.

Rian menutup pintu rumah rapat-rapat dan mengawasi Mas Karyo hingga benar-benar pergi. "Aman, Ri. Orang itu udah pergi." Dia kemudian duduk di sebelahku, di sofa. "Ri? Kenapa diam? Kamu masih risih karena tingkah pria itu? Tenang, dia udah pergi, kok."

"Justru aku yang ngga enak kalau terus-terusan ditolong begini sama kamu. Nanti aku ganti, ya, uangnya." Kurasa akan lebih tidak enak jika aku berhutang pada Rian. Terlebih lagi setiap hari kami akan bertemu. Mau ditaruh ke mana wajahku jika berani muncul di depannya, tetapi masih memilik hutang yang sangat banyak.

"Nggak usah dipikirin soal itu, Ri. Orang itu udah pulang, jadi udah aman. Aku juga izin pulang, ya."

Aku tersenyum dan mengangguk. "Makasih, ya. Soal uang nanti-"

"Istirahat. Jangan dipikirin." Secepat kilat ia memotong ucapanku. Astaga, aku sampai kaget. Akhirnya, Rian benar-benar pulang. Bagaimana aku melunasi sepuluh juta yang ia keluarkan dengan tidak berpikir panjang itu? Sepuluh juta itu gajiku selama tiga bulan. Itu pun jika tidak dipotong untuk kebutuhan sehari-hari.

Entahlah, semua masalah ini membuatku pusing. Benar kata Rian, lebih baik aku istirahat. Lagian aku juga merasa pusing karena jambakan Tasya tadi yang terlalu kuat.
....

"Ri, bangun. Aku udah bawain sarapan, nih." Suara yang terdengar berat itu terasa dekat. Apa aku hanya mimpi? Mana mungkin di kamarku ada laki-laki?

"Loh?! Rian?!" Aku segera bangun dari tidurku dan lekas duduk. Bisa-bisanya Rian sudah ada di sini?! Dengan menggunakan kemeja berwarna biru tua yang dibalut jas hitam rapi dan duduk di depanku. Ah, ternyata aku tak berada di kamar, melainkan di sofa ruang tamu. Berarti semalam aku tertidur di sini. Astaga, sampai-sampai aku juga lupa mengunci pintu depan!

"Sarapan dulu, nih. Aku beli nasi uduk tadi."

Aku hanya bisa menatapnya heran dengan napas yang masih ngos-ngosan. "Kok, kamu main nyelonong aja, sih?! Nggak sopan tahu masuk rumah orang seenaknya. Apa lagi kita masih lajang. Bisa jadi fitnah nanti!"

"Jangan salahin aku, dong. Tadi malem sehabis pulang dari sini, aku nelpon kamu, mau ingetin buat nyiapin berkas-berkas perusahaan buat meeting nanti siang. Kamu sendiri, kan, yang bilang kalau mau meeting jangan mendadak. Minimal malemnya nelpon dulu. Gitu, kan, yang kamu bilang tempo hari?" Aku tak bisa berkutik mendengar jawaban Rian barusan. Padahal aku yang bilang, bisa-bisanya aku lupa. Ah, ternyata Rian benar-benar mengikuti sarankubut untuk menelpon dulu, agar tidak dadakan. Namun, kenapa itu malah semakin mengingatkanku pada Rashi? Sedang apa ia di sana? Apakah sedang menikmati sarapan buatan istrinya? Atau malah ... Rashi sedang membuatkan teh hangat dengan tambahan bubuk cinta untuk istrinya?

"Ri? Kok bengong?" tanya Riandra, membuatku berhenti memikirkan Rashi. "Tadi subuh aku juga telepon kamu, siapa tahu diangkat. Eh, ternyata masih juga nggak diangkat. Ya, udah, aku bergegas ke sini aja. Di jalan aku liat ada nasi uduk, langsung beli buat dimakan bareng. Pas nyampe, pintu kamu nggak dikunci, tuh. Ternyata kamunya ketiduran di sini," jelasnya panjang lebar seperti selebgram yang sedang membuat a day in my live.

Aku hanya bisa menepuk dahi. Ternyata benar, aku tertidur di sini. Mungkin karena kepalaku sudah terasa sangat pusing. "Aku pusing banget semalem, sampe ngga sempet ke kamar. Kepala aku juga masih sakit gara-gara dijambak Tasya semalem," ucapku sambil bersandar di sofa dan memijat kepalaku.

"Eh, itu ada apa merah-merah di rambut kamu, Ri?!" tunjuknya dengan nada heboh yang tentu saja membuatku ikutan panih. Apa jangan-jangan ini darah?

"Mana, ih, ambil!" Aku sedikit menunduk agar Rian bisa mengambil benda berwarna merah yang bilang. Dengan sigap Rian membantu membelah rambutku agar aku menunduk. Perlahan ia menariknya dari sela-sela rambut.  Sialnya, bukan benda atau cairan berwarna merah, ia malah menyatukan jari telunjuk dan jempolnya hingga membentuk sebuah love. Ia lalu cengengesan setelah tahu aku percaya dengan prank-nya barusan. Sialan!

"Ih ... aku udah ikutin panik juga!" Aku menampol jarinya itu.

"Hehe, lagian kamu serius amat. Udah, ambil sendok sana, kita makan nasi uduk," titahnya. Dengan langkah yang diseret dengan malas, aku berjalan menuju dapur untuk mencari sendok dan air minum.

☔☔☔

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang