☔12. Rian itu Susah Ditebak, Ya

14 6 4
                                    

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Setelah adegan jahil yang diperbuat oleh Riandra tadi, kami lanjut berangkat ke kantor. Hari ini ternyata diawali dengan mendung lagi. Bulan Januari memang identik dengan hujan, semoga saja hanya langit yang hujan, bukan pipi. "Nanti malem temenin saya ke suatu tempat, mau nggak, Ri?" tanya Rian tiba-tiba. Aku yang tadinya fokus membaca berkas-berkas meeting langsung menoleh padanya. Ia padahal masih fokus menyetir.

"Ke mana? Nggak ke rumah hantu pasar malam, kan?" tanyaku.

Justru Rian malah menertawakanku, "ya, nggaklah. Kamu takut, ya?"

"Sedikit." Alasan saja memang kau, Ri! Padahal aku tidak takut sama sekali. Itu hanya mengantisipasi jika Rian mengajakku ke sana. Bukannya takut hantu, malah takut teringat kenangan bersama Rashi. Ya, Tuhan, semakin keras aku belajar melupakan Rashi, kenapa aku malah semakin teringat pada pria itu?! Mungkin sebaiknya kalimat 'melupakan' itu aku ganti dengan kalimat 'harus terbiasa'.

"Umur udah mau seperempat abad masih takut hantu aja," eheknya seolah-olah dia berani. Dih, apaan, tuh? Padahal aku tidak takut hantu, setiap hari saja aku tinggal sendirian.

"Nenek-nenek ada juga takut hantu, kok," belaku seakan betulan takut. Jangan hilang kalau Rian malah lebih takut dariku.

"Halah, ngebela diri aja kamu. Lusa ada pasar malam, loh. Mau ke sana bareng?" tawarnya. Ah, jadi dia sekarang menantangku? Dia kira aku betulan takut dengan hantu-hantu di pasar malam? Tentu saja tidak, kita lihat saja nanti, mungkin dia yang akan ketakutan duluan.

"Nantang, nih? Oke, siapa takut," jawabku penuh percaya diri. Awas saja kalau nanti malah dia yang menangis karena ketakutan!
...

Sampai di kantor, Rian terlebih dulu memarkirkan mobilnya. Sedangkan aku menunggunya di pintu depan. Kantor terlihat masih sepi, mungkin karena sedang hujan jadi karyawan malas berangkat. Dari dalam sudah ada Vallea yang berlari tergopoh-gopoh ke arahku.

"Riani!" Dia datang dan langsung memelukku. Terlihat cemas sambil mengecek kepalaku, sampai rambutku sedikit berantakan. "Kepalamu nggak apa-apa, kan, Ri?! Berdarah nggak? Atau ... malah gagar otak?!"

Aku langsung menarik rambutku yang dipegang oleh Vallea. "Enggak, ih. Amit-amit! Cuma pusing aja, sih, tadi malem. Tapi nggak apa-apa, kok. Bangun tidur juga udah sembuhan."

"Aku kaget banget, loh, sama Tasya. Bisa-bisanya dia ngamuk gitu di tempat umum. Soalnya sebelumnya nggak pernah, kan, Ri?" tanya Vallea seolah sangat heran. Menurutku wajar saja, mungkin karena Tasya tersulut emosi.

"Biarin aja, deh, mungkin dia terlalu banyak pikiran, Vall. Lagian mungkin salah aku juga karena terkesan maksa dia. Apa pun pilihan Tasya, semoga itu jalan terbaik yang dia ambil."

"Eh, Pak Riandra udah dateng," cetus Vallea tiba-tiba. Ternyata Rian datang dari belakangku. Rian membetulkan kancing bagian lengannya secara bergantian.

Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang