Charlie menyesap minumannya, dia menatap Pavel yang ada di hadapannya, menunggu apa yang akan dikatakan pria itu. Pria itu terlihat gelisah, duduk berhadap-hadapan begini membuat dia bisa melihat Charlie dengan jelas. Jika dia pikir-pikir, paras Charlie sangat rupawan. Kenapa baru sekarang dia sadari?
"Jadi apa yang mau cinta bicarakan denganku?" Akhirnya Charlie duluan yang buka suara. Lihatlah, betapa beraninya dia memanggil Pavel dengan sebutan Cinta.
Pavel mendengus, ingin sekali dia menginjak-injak kepala Charlie saat ini juga, tapi dia sayang dengan wajah Charlie.
"Gua mau melakukan pertandingan ulang. Kali ini jika kau menang, maka gua rela menjadi kekasih 100 hari lu." Ucap dia pada Charlie yang tersenyum penuh arti.
Kini Charlie mengulum senyum dia pikir Pavel mau mengatakan apa, ternyata meminta pertandingan ulang.
"Meen akan meminjamkan mobilnya untukmu, bahkan dia juga yang membayar formulir pertandingan itu." Tambah Pavel lagi mengabaikan ekspresi Charlie yang membuat dia kesal.
Charlie menyesap kembali minumannya, mereka bicara di kafe akademi yang di kelola oleh jurusan tata boga.
"Jadi bagaimana keputusanmu?" Tanya Pavel resah, takut Charlie menolak pertandingan ulang ini. Kini Pavel ikut meminum minumannya.
"Gua rasa mengulang lagi pertandingan itu tidak buruk, hanya saja gua tidak mau. Gua tidak ahli dalam hal mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi. Tapi jika hal membunuh, gua ahlinya."
Degh.
Dada Pavel berdebar, sekarang dia harus bagaimana lagi untuk membuat Charlie bersedia membatalkan dia menjadi pacar 100 hari ini?Charlie tertawa kecil ketika melihat air muka Pavel yang terlihat seperti ayam disembelih.
"Tapi jika segitu tidak inginnya kau menjadi kekasihku, maka gua tidak akan memaksa. Memang benar gua jatuh cinta pada pandangan pertama padamu, tapi gua tidak mau menjadi pengemis cinta." Charlie itu manusia yang lebih memakai otak ketimbang hati. Dia manusia yang realistis.
Dada Pavel semakin berdebar, dia tidak menyangka Charlie serius dengan perasaannya. Dia memang sudah terbiasa dipuja dan dicintai, tapi cinta Charlie padanya membuat dia uring-uringan, dia benci tapi di satu sisi dia tidak mengerti dengan dirinya sendiri.
"Gua harap lu senang, karena mulai sekarang lu bukan lagi kekasih 100 hari gua." Ucap dia tidak luntur senyum indah dari wajahnya. Tidak ada yang bisa membaca pikirannya, dia terlalu sulit untuk ditebak.
Seharusnya Pavel tersenyum lega mendengarnya, tapi entah kenapa dia tidak suka.
Dia merasa dicampakkan sebelum memulai.
Sementara Charlie, dia tidak akan memperjuangkan hati yang tidak bisa menghargai cintanya. "Kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan, gua undur diri dan sampai jumpa besok." Dia memang patah hati namun dia masih bisa berpikir logis.
Dia terlihat berwibawa meninggalkan Pavel yang kini tercenung. Dia lega tapi dia tidak senang. Lebih pada rasa kosong yang hampa.
⏩⏩
"Terima kasih Perth, selama ini kau selalu mendukung dan menolongku" Tutur Mac begitu sadar. Dia duduk bersandar di kasur. Melihat Perth yang sedang memaksa Meen minum eliksir supaya luka di seluruh tubuh Meen sembuh.
"Kau tidak perlu berterima kasih, karena aku selalu mendukungmu, jika itu untuk kebaikanmu," Ucap Perth meraih Krah baju Meen, kemudian dia membelalakkan matanya pada Meen. "Minum gak?!" Deep voicenya nan mengancam.
"Tapi pahit yank..." Rengek Meen memang paling susah jika minum obat.
Di tengah situasi itu ada bunyi pesan masuk dari ponsel Perth, yang mengharuskan Perth melepaskan cengkraman tangannya dari krah baju Meen untuk membuka pesan yang masuk ke ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Royalty
Fanfic"Ketika aku menyadari aku mencintai dia, aku telah kehilangan dia untuk selamanya."